Hedonisme berhala kaum liberalis
Apa arti moral bagi manusia liberalis? Sebagai keyakinan, bagian gaya hidup, atau sesuatu yang artificial belaka ? barangkali kebingungan adalah jawaban yang paling pas bagi masyarakat pecinta kebebasan. Ditengah hiruk pikuk teriakan kebebasan justru nilai-nilai kemanusiaan terampas. Bahkan, manusia terpuruk pada derajat yang terendah. Inilah buah kebebasan yang diyakini sebagai pembebas manusia dari ketertindasan.
Marjinalkan Agama
Nonsens, kiranya itu kata yang paling pas untuk menjawab harapan akan tereduksinya Social decease (kematian sosial) di alam demokrasi. Bagaimanapun, kerasnya seruan bahwa liberalisme tidak identik dengan kebejatan moral adalah sia-sia. Sejak kelahiran telah menafikan peran agama dalam kehidupan. Bukankah akar dari liberalisme adalah sekularisme? Mustahil menghadirkan peran agama dalam kehidupan liberalis. Yang ada jusru marjinalilsasi peran agama yang kini kian akrab dengan istilah ‘privatitasi’ agama-menempatkan agama hanya dalam tataran privat, bukan publik. Ini adalah bahasa halus dari ‘character assassination’ (pembunuhan karakter) terhadap agama, dalam hal ini khususnya islam. Andapun eksis, agama beserta institusinya hanya menjadi slender-alat pengesahan bejatnya paham liberalisme yang kini coba ditebar benihnya ditengah-tengah masyarakat.
Upaya untuk mengembalikan peran dan karakter islam sebagai ideologi universal di tengah publik justru menuai antipati. Apabila contoh kasus ketika sejumlah kalangan mengancam pornografi dan pornoaksi sebagai bagian demoralisasi bangsa dan bertentangan dengan agama, air bah penentangan pun berdatangan. Seperti menentang, para pengusaha entertainment dan broadcasting malah mengelar aneka tayangan penggoda syahwat itu dengan atraktif.
Jelas benar terbaca, bahwa di mata para sekalaris, aturan-aturan agama sebagai norma pembatas kehidupan layak ditampik. Keyakinan bahwa agama berperan sebagai ‘pil mujarab’ untuk mengatasi berbagai krisis kemanusiaan hampir sama dengan tahayul; ada tetapi tak bisa diwujudkan alias utopia. Lalu apa yang menjadi ukuran kebaikan bagi masyarakat liberalis? Tidak ada yang lain kecuali hedonisme, kesenangan fisik belaka. Artinya, upaya apa pun untuk menyenangkan diri adalah legal dan wajib mendapatkan tempat dalam kehidupan yang serba bebas ini.
Mass Moral Destruction
Tentu saja ada harga yang harus dibayar atas setiap pilihan dan keakinan yang di ambil masyarakat kebeeasan hakikatnya adalah gerbang budaya deskruktif manusia .ia telah merenggut fitrah manusia dan melahirkan berbagai macam penyakit sosial yang serius.salah satu bagian yang paling mencolok dari paham kebebasan itu adalah kebebasan perilaku [hurriyah asysyakhsiyyah] kebebasan ini telah menyimpangkan tujuan penciptaan naluri seksual/melestarikan keturunan yang secara built-in Allah ciptakan pada manusia .
Prinsip kebebasan telah menjadi semacam ‘alat penghancur moral massal’ meluluhlantakkan moral dari tataran publik hingga kelapisan privat. Pornografi, seks bebas, dan penyimpangan seksual menjadi ritual baru umat manusia. Di Eropa, Denmark adalah Negara yang dengan terbuka memproklamirkan diri sebagai sentra pornografi dan prostitusi, dan covenhagen sebagai ibu kota Negara merangkap pusat akivitas seks bebas. Sejak tahun 1969 Denmark menghapuskan sensor film. Pada bulan November tahun yang sama, industri film porno Denmark mengejutkan dunia dengan menyelenggarakan The Covenhagen sex fair, sejak itu, Copenhagen dijuluki pusat pornografi, prostitusi, serta hiburan seks Live di Eropa. Diperkirakan sekitar 1500 pekerja seks ‘beraksi’ setiap hari. Jumlah ini terbagi dalam beberapa lokasi seperti panti pijat, bar dan juga mereka yang nekad ‘berkeliaran’ di jalanan.
Penghapusan sensor film yang diberlakukan di Denmark ternyata berlaku untuk semua, bahkan remaja sekalipun. Remaja minimal berusia 12 tahun boleh menyaksikan film apa saja yang diputar di bioskop, termasuk film biru. Film-film Amerika kadang-kadang dibuat dalam dua versi. Satu untuk Eropa Utara dengan bagian yang banyak adegan seksnya. Satunya lagi untuk komsumsi di USA sendiri dengan menghilangkan banyak adegan esek-esek. Keleluasan itulah yang amat disukai oleh penduduk Covenhagen.
Seiring dengan kebebasan itu, Copenhagen juga bersikap toleran terhadap narkotika. Mereka bahkan membuka stand khusus untuk menjual barang-barang terlarang itu. Polisis pun tak melakukan tindakan apa pun untuk menhentikan.
Kebabasan lain yang diberikan Copenhagen (juga Negara-negara yang termasuk dalam Scandinavia) adalah bagi mereka yanmg homoseks atau lesbian untuk menikah. Pesta pernikahan yang dilakukan oleh kaum homo atau lesbian di sana tak ubahnya pasangan normal lainnya.
Jangan salah, Indonesia pun terbilang Negara yang bebas membuat dan mengkomsumsi pornografi dan seks bebas. Menurut KUHP, perzinaan bukan termasuk tindakan asusila yang layak diganjar hukuman. Hanya tiga keadaan yang dapat menyeret pelaku zina masuk ke dalam bui, dengan paksaan (tindak pemerkosaan). Dilakukan dengan anak di bawah umur, dan dilakukan di muka umum. KUHP pun bungkam. Para ‘pemain’ VCD Bandung Lautan Asmara yang menghebohkan itu pun tidak bisa disentuh oleh hukum.
Pornografi dan seks bebas tidak saja menawarkan kesenangan, tetapi juga uang. Oleh karena itu, dalam masyarakat liberal, seks tidak lagi bersifat privat apalagi suci, tetapi telah menjadi industri yang amat komersial. Dalam dunia media massa, publik dunia mengenal playboy yang telah menjadi ikon dalam penerbitan lher dan konon terjual hingga 5 juta eksemplar peredisinya. Playboy entertainment incorporation (PEI). Nama perusahaan yang memaungi seluruh produk ‘cap kelinci’ ini meraup keuntungan besar dari berdagang sensualitas dan sex appeal wanita. TV playboy dan sejumlah chanel film dewasa telah meningkat pelanggannya. Program playboy meraih pelanggan 122,8 juta unit pada kwartal pertama tahun (2002), naik 8 % dari 113,8 juta unit pada akhir kwartal tahun sebelumnya. Total keuntungan yang diraup PEI pada tahun 1999 saja sudah mencapai sampai US$ 348 juta dan sahamnya tercatat di bursa saham New York.
Kebebasan perilaku yang menjurus pada freesex missal ini telah menjadi bagian dari lifestyle bahkan prestise bagi para pelakunya, persis tayangan film serial popular Televisi Sex And The City dibintangi Sarah Jessica Parker. Seperti latah, perilaku ini pun terjadi ditanah air. Seperti diungkap Moammar Emka dalam bukunya, Jakarta Under Cover (JUC), kian banyak saja kalangan esmud (eksekutif muda) dan selebritis yang melebur dalam gaya hidup hewani ini. Ada yang sifatnya Free Charge seperti kencan semalam (one Night Stand) hingga yang eksekutif dengan melibatkan uang hingga ratusan juta rupiah permalamnya! Prostitusi yang ditawarkan pun kian atraktif. Mulai pesta nudies dengan uang keanggotaan puluhan juta rupiah atau zina keliling Jakarta di dalam mobil-mobil mewah.
Tingkat penggunaan narkoba pada masyarakat hedonis amat menonjol. Indonesia sebagai salah satu Negara yang menganut kehidupan macam ini mulai menuai ‘hasilnya’. Penggunaan narkoba di Tanah Air juga semakin meningkat, khususnya pada usia remaja, menurut catatan WHO, jumlah pemakai narkoba di Tanah Air pada tahun 2003 mencapai 5 juta orang. Tingginya penggunaan narkoba ternyata juga berdampak pada meningkatnya pengidap Virus HIV sebagai akibat penggunaan jarum suntik secara bergiliran diantara para junkies. Sepanjang tahun 2001-2002, jumlah pengidap virus HIV di Indonesia mengalami peningkatan hingga 900 % Wuihh... So, bagi kalian yang masih memilih menjadi pesakitan hedon dan penyembah berhala liberalisme...sadar jack, sadar!!!
Marjinalkan Agama
Nonsens, kiranya itu kata yang paling pas untuk menjawab harapan akan tereduksinya Social decease (kematian sosial) di alam demokrasi. Bagaimanapun, kerasnya seruan bahwa liberalisme tidak identik dengan kebejatan moral adalah sia-sia. Sejak kelahiran telah menafikan peran agama dalam kehidupan. Bukankah akar dari liberalisme adalah sekularisme? Mustahil menghadirkan peran agama dalam kehidupan liberalis. Yang ada jusru marjinalilsasi peran agama yang kini kian akrab dengan istilah ‘privatitasi’ agama-menempatkan agama hanya dalam tataran privat, bukan publik. Ini adalah bahasa halus dari ‘character assassination’ (pembunuhan karakter) terhadap agama, dalam hal ini khususnya islam. Andapun eksis, agama beserta institusinya hanya menjadi slender-alat pengesahan bejatnya paham liberalisme yang kini coba ditebar benihnya ditengah-tengah masyarakat.
Upaya untuk mengembalikan peran dan karakter islam sebagai ideologi universal di tengah publik justru menuai antipati. Apabila contoh kasus ketika sejumlah kalangan mengancam pornografi dan pornoaksi sebagai bagian demoralisasi bangsa dan bertentangan dengan agama, air bah penentangan pun berdatangan. Seperti menentang, para pengusaha entertainment dan broadcasting malah mengelar aneka tayangan penggoda syahwat itu dengan atraktif.
Jelas benar terbaca, bahwa di mata para sekalaris, aturan-aturan agama sebagai norma pembatas kehidupan layak ditampik. Keyakinan bahwa agama berperan sebagai ‘pil mujarab’ untuk mengatasi berbagai krisis kemanusiaan hampir sama dengan tahayul; ada tetapi tak bisa diwujudkan alias utopia. Lalu apa yang menjadi ukuran kebaikan bagi masyarakat liberalis? Tidak ada yang lain kecuali hedonisme, kesenangan fisik belaka. Artinya, upaya apa pun untuk menyenangkan diri adalah legal dan wajib mendapatkan tempat dalam kehidupan yang serba bebas ini.
Mass Moral Destruction
Tentu saja ada harga yang harus dibayar atas setiap pilihan dan keakinan yang di ambil masyarakat kebeeasan hakikatnya adalah gerbang budaya deskruktif manusia .ia telah merenggut fitrah manusia dan melahirkan berbagai macam penyakit sosial yang serius.salah satu bagian yang paling mencolok dari paham kebebasan itu adalah kebebasan perilaku [hurriyah asysyakhsiyyah] kebebasan ini telah menyimpangkan tujuan penciptaan naluri seksual/melestarikan keturunan yang secara built-in Allah ciptakan pada manusia .
Prinsip kebebasan telah menjadi semacam ‘alat penghancur moral massal’ meluluhlantakkan moral dari tataran publik hingga kelapisan privat. Pornografi, seks bebas, dan penyimpangan seksual menjadi ritual baru umat manusia. Di Eropa, Denmark adalah Negara yang dengan terbuka memproklamirkan diri sebagai sentra pornografi dan prostitusi, dan covenhagen sebagai ibu kota Negara merangkap pusat akivitas seks bebas. Sejak tahun 1969 Denmark menghapuskan sensor film. Pada bulan November tahun yang sama, industri film porno Denmark mengejutkan dunia dengan menyelenggarakan The Covenhagen sex fair, sejak itu, Copenhagen dijuluki pusat pornografi, prostitusi, serta hiburan seks Live di Eropa. Diperkirakan sekitar 1500 pekerja seks ‘beraksi’ setiap hari. Jumlah ini terbagi dalam beberapa lokasi seperti panti pijat, bar dan juga mereka yang nekad ‘berkeliaran’ di jalanan.
Penghapusan sensor film yang diberlakukan di Denmark ternyata berlaku untuk semua, bahkan remaja sekalipun. Remaja minimal berusia 12 tahun boleh menyaksikan film apa saja yang diputar di bioskop, termasuk film biru. Film-film Amerika kadang-kadang dibuat dalam dua versi. Satu untuk Eropa Utara dengan bagian yang banyak adegan seksnya. Satunya lagi untuk komsumsi di USA sendiri dengan menghilangkan banyak adegan esek-esek. Keleluasan itulah yang amat disukai oleh penduduk Covenhagen.
Seiring dengan kebebasan itu, Copenhagen juga bersikap toleran terhadap narkotika. Mereka bahkan membuka stand khusus untuk menjual barang-barang terlarang itu. Polisis pun tak melakukan tindakan apa pun untuk menhentikan.
Kebabasan lain yang diberikan Copenhagen (juga Negara-negara yang termasuk dalam Scandinavia) adalah bagi mereka yanmg homoseks atau lesbian untuk menikah. Pesta pernikahan yang dilakukan oleh kaum homo atau lesbian di sana tak ubahnya pasangan normal lainnya.
Jangan salah, Indonesia pun terbilang Negara yang bebas membuat dan mengkomsumsi pornografi dan seks bebas. Menurut KUHP, perzinaan bukan termasuk tindakan asusila yang layak diganjar hukuman. Hanya tiga keadaan yang dapat menyeret pelaku zina masuk ke dalam bui, dengan paksaan (tindak pemerkosaan). Dilakukan dengan anak di bawah umur, dan dilakukan di muka umum. KUHP pun bungkam. Para ‘pemain’ VCD Bandung Lautan Asmara yang menghebohkan itu pun tidak bisa disentuh oleh hukum.
Pornografi dan seks bebas tidak saja menawarkan kesenangan, tetapi juga uang. Oleh karena itu, dalam masyarakat liberal, seks tidak lagi bersifat privat apalagi suci, tetapi telah menjadi industri yang amat komersial. Dalam dunia media massa, publik dunia mengenal playboy yang telah menjadi ikon dalam penerbitan lher dan konon terjual hingga 5 juta eksemplar peredisinya. Playboy entertainment incorporation (PEI). Nama perusahaan yang memaungi seluruh produk ‘cap kelinci’ ini meraup keuntungan besar dari berdagang sensualitas dan sex appeal wanita. TV playboy dan sejumlah chanel film dewasa telah meningkat pelanggannya. Program playboy meraih pelanggan 122,8 juta unit pada kwartal pertama tahun (2002), naik 8 % dari 113,8 juta unit pada akhir kwartal tahun sebelumnya. Total keuntungan yang diraup PEI pada tahun 1999 saja sudah mencapai sampai US$ 348 juta dan sahamnya tercatat di bursa saham New York.
Kebebasan perilaku yang menjurus pada freesex missal ini telah menjadi bagian dari lifestyle bahkan prestise bagi para pelakunya, persis tayangan film serial popular Televisi Sex And The City dibintangi Sarah Jessica Parker. Seperti latah, perilaku ini pun terjadi ditanah air. Seperti diungkap Moammar Emka dalam bukunya, Jakarta Under Cover (JUC), kian banyak saja kalangan esmud (eksekutif muda) dan selebritis yang melebur dalam gaya hidup hewani ini. Ada yang sifatnya Free Charge seperti kencan semalam (one Night Stand) hingga yang eksekutif dengan melibatkan uang hingga ratusan juta rupiah permalamnya! Prostitusi yang ditawarkan pun kian atraktif. Mulai pesta nudies dengan uang keanggotaan puluhan juta rupiah atau zina keliling Jakarta di dalam mobil-mobil mewah.
Tingkat penggunaan narkoba pada masyarakat hedonis amat menonjol. Indonesia sebagai salah satu Negara yang menganut kehidupan macam ini mulai menuai ‘hasilnya’. Penggunaan narkoba di Tanah Air juga semakin meningkat, khususnya pada usia remaja, menurut catatan WHO, jumlah pemakai narkoba di Tanah Air pada tahun 2003 mencapai 5 juta orang. Tingginya penggunaan narkoba ternyata juga berdampak pada meningkatnya pengidap Virus HIV sebagai akibat penggunaan jarum suntik secara bergiliran diantara para junkies. Sepanjang tahun 2001-2002, jumlah pengidap virus HIV di Indonesia mengalami peningkatan hingga 900 % Wuihh... So, bagi kalian yang masih memilih menjadi pesakitan hedon dan penyembah berhala liberalisme...sadar jack, sadar!!!
[admin]
0 Comments:
Post a Comment
<< Home