MEDIA LIBERAL & KAPITALISME GLOBAL
Anda mungkin pernah melihat tayangan acara Fenomena di Trans TV pada Jumat tengah malam pukul 24.00 WIB 9 Juli 2005. Dalam program itu diekspos seputar bisnis esek-esek di Makassar; seperti seks becak lambat, tari erotik, dan karaoke plus. Beberapa waktu sebelumnya, dalam acara Good Morning, Senin, 13 Juni 2005, pukul 08.30 WIB, Trans TV telah melakukan kampanye legalisasi perkawinan sejenis. Seorang lesbian digambarkan sebagai pejuang atau bahkan pahlawan. Trans TV melakukan kampanye legalisasi perkawinan sesama jenis. Ketika itu ditampilkan sosok wanita lesbian bernama Agustin, yang mengaku sudah 13 tahun hidup bersama pasangannya yang juga seorang wanita. Praktik hubungan seksual dan perkawinan sesama jenis, katanya, adalah sesuatu yang baik. Seorang psikolog yang juga seorang wanita (tidak dijelaskan apakah dia lesbian atau tidak) juga menjelaskan bahwa homoseksual dan lesbian bukan praktik yang abnormal, tetapi merupakan orientasi dan praktik seksual yang normal. Na’uzhu billah min dzalik!
Program serupa itu juga ada di LATIVI beberapa waktu lalu, seperti Jakarta Underground, Cucak Rawa, dan Bunglon. Belum lagi tarian-tarian yang sangat vulgar seperti fenomena Inul Daratista dan Annisa Bahar yang sudah tergolong penari-penari pornoaksi yang amoral. Sayang, program-program murahan ini ternyata sangat digemari kalangan TV. Ada acara Digoda di Trans TV, Joged RCTI, Duet Maut di SCTV, dan Kawasan Dangdut di Lativi.
Dalam berbagai tayangan di stasiun TV, hampir pasti kita temukan figur-figur yang bergaya waria. Kehidupan kaum gay dan lesbian juga diekspose kepada publik. Film layar lebar Arisan, misalnya, yang menggambarkan kehidupan pasangan gay, beberapa kali diputar ulang di sejumlah stasiun TV swasta. Film ini seolah ingin mengkampanyekan bahwa perilaku laknat seperti itu adalah hal yang lumrah, sah-sah saja, dan tak perlu dipersoalkan.
Sering pula kita jumpai tayangan bejat lainnya seperti kehidupan komunitas para penjaja seks, baik wanita maupun laki-laki (gigolo), pelacuran anak-anak di bawah umur, fenomena ‘ayam kampus’, kehidupan tante-tante girang dan oom-oom senang, pesta seks (orgy), fenomena tukar pasangan (swinger), serta berbagai gejala penyimpangan seksual lainnya.
Apa makna dari semua fakta ini? Setidak-tidaknya fenomena media liberal itu menunjukkan 3 (tiga) hal yang mengkhawatirkan. Pertama, secara sosiologis telah terjadi proses rekayasa sosial (social engineering) yang disengaja untuk mentransformasikan masyarakat kita menuju masyarakat sekuler yang liberal. Kedua, secara ekonomi membuktikan kaum kapitalis (pemodal) telah menguasai media demi uang semata tanpa peduli moral masyarakat. Ketiga, secara politik menunjukkan pemerintah kita tidak punya tanggung jawab dalam urusan moral umat.
Menuju Masyarakat Sekuler-Liberal
Secara sosiologis, keberadaan media liberal membuktikan bahwa masyarakat kita sekarang sedang digiring oleh kekuatan kapitalisme global untuk bertransformasi menuju masyarakat sekuler yang liberal, sebagaimana masyarakat Barat. Dalam tinjauan teori sosiologi komunikasi massa, tayangan-tayangan TV yang liberal tersebut adalah suatu “diskusi publik” agar nilai kebebasan (freedom, liberty) mengisi ruang publik (public sphere), kemudian menjadi opini umum (public opinion), dan selanjutnya berproses menjadi shared values, yaitu acuan nilai kultural yang disepakati bersama (Ashadi Siregar, “Pengantar”, Politik Editorial Media Indonesia, Jakarta : LP3ES, 2003).
Ini tentu tak lepas dari pola pikir (mind-set) kaum liberal-sekular, bahwa kebebasan adalah nilai ideal yang harus diujudkan dalam suatu masyarakat. Dalam pidato pelantikannya sebagai presiden tanggal 20 Januari 2005 lalu, George W. Bush berkata, “When you stand for your liberty, we will stand for you.” (Jika Anda berjuang untuk kebebasan Anda, maka kami akan bersama Anda). Bush juga menegaskan, “The best hope for peace is the expansion of freedom.” (Harapan terbaik untuk perdamaian, adalah melakukan ekspansi kebebasan) (Newsweek, 31 Januari 2005). Perhatikan pilihan kata Bush, yaitu “ekspansi kebebasan” (expansion of freedom). Ini jelas mengindikasikan bahwa kebebasan adalah nilai asing yang dicekokkan secara paksa ke dalam tubuh masyarakat kita yang mayoritas muslim.
Tentu ekspansi kebebasan ini jangan diartikan harfiyah bahwa yang mengusung nilai-nilai kebebasan haruslah orang kulit putih seperti orang Amerika atau Eropa. Bisa jadi, dan ini memang sudah terjadi, yang mengusungnya justru orang kita sendiri yang berkulit sawo matang dan bahkan, beragama Islam. Namun pikiran mereka tentu telah terkotori oleh paham liberal gaya kapitalis.
Kaum Kapitalis Anti Moralitas
Secara ekonomi, eksistensi media liberal membuktikan kaum kapitalis pemilik media liberal itu adalah pihak yang sungguh tak bertanggung jawab. Karena mereka hanya memikirkan bagaimana mengeruk keuntungan pribadi dengan cara nista, yaitu membejatkan moral masyarakat. Ketika ditayangkan goyang Inul dalam sebuah progam di stasiun SCTV, misalnya, yang dipikirkan jelas hanya duit saja. Moral ditaruh di dengkul, atau mungkin di bawah telapak kaki (dan diinjak-injak). Sebab yang dipertimbangkan hanya pendapatan dari iklan yang dijual Rp 16 juta per spot iklan (30 detik). Padahal dalam satu acara Inul dengan durasi 90 menit, bisa terdapat sekitar 40 spot. Walhasil secara kasar akan diraup uang setidaknya Rp 640 juta hanya dalam waktu 90 menit.
Jadi bagi para pemilik modal, yang penting adalah duit, persetan dengan moral. Ini jelas menunjukkan mereka adalah kapitalis-kapitalis tulen yang tak mengenal tuhan selain uang, uang, dan uang. “Tiada tuhan selain uang” telah menjadi semboyan mereka secara diam-diam, walau pun mungkin mulut mereka sampai berbusa-busa melafazkan zikir dan tasbih siang malam.
Prinsip tersebut tentu tak lepas dari sistem ekonomi kita yang memang kapitalistik, yang memandang keuntungan pribadi adalah di atas segala-galanya. Adam Smith, dalam The Wealth of Nations (1776) pernah menulis bahwa jika tukang daging menjual dagingnya kepada Anda, itu bukan karena dia berbelas kasihan atau bersimpati kepada Anda, melainkan karena dia mengejar keuntungannya sendiri. Artinya, dalam sistem kapitalisme jangan bicara moral. Bicaralah uang karena hidup adalah uang.
Pemerintah Tak Bertanggung Jawab
Secara politik, fenomena media liberal tersebut menunjukkan bahwa pemerintah tidak punya tanggung jawab lagi dalam urusan moral rakyat. Pemerintah juga tidak punya kepedulian sama sekali terhadap media liberal yang mengancam moral masyarakat. Atau jangan-jangan, bukannya tidak peduli, tapi pemerintah memang tidak mampu lagi mengendalikan urusan media massa. Sebab pemerintah memang telah terbelit dan terjerat oleh gurita sistem kapitalisme global yang semakin mengarah kepada ekstremitas, yakni kondisi dimana kehendak dan aspirasi masyarakat telah dilumpuhkan sama sekali untuk selanjutnya dipaksa mengikuti apa pun kemauan dan selera kaum kapitalis.
Sistem ini yang di masa lalu kita sebut free-fight liberalism (liberalisme pertarungan bebas), kini oleh George Soros disebutnya market fundamentalism (fundamentalisme pasar). Dalam cengkeraman sistem ini, pemerintah kita hampir pasti tidak akan mampu berbuat apa-apa dan tidak berdaya, ketika menghadapi apa yang namanya “pasar” (baca : pemilik kapital/modal) (Bonnie Setiawan, Menggugat Globalisasi, Jakarta: INFID & IGJ, 2001).
Cengkeraman kaum kapitalis tentunya juga telah merambah media massa sampai pada batas yang memprihatinkan. Keprihatinan ini bisa dilihat dari makin maraknya buku atau artikel ilmiah tentang kerajaan-kerajaan media di dunia ini dan berbagai dampak yang ditimbulkannya. Beberapa buku disebut di sini :
(1) Media Monopoly karya Ben Bagdikian (1997);
(2) Rich Media Poor Democracy: Communication Politics in Dubious Times karya Robert W McChesney (1999);
(3) The Global Media: the New Missionaries of Corporate Capitalism karya Edward S Herman dan Robert W McChesney (1997);
(4) Media Ownership and Control in the Age of Convergence karya Vicki MacLeod (1996);
(5) Media Moguls karya Jeremy Tunstall dan Michael Palmer (1991);
(6) Leaving Readers Behind: The Age of Corporate Newspapering Media Ownership karya Gene Roberts (2001);
(7) The Economics and Politics of Convergence and Concentration in the UK and European Media karya Gillian Doyle (2002);
(8) Media Ownership and Its Impact on Media Independence and Pluralism karya Brankica Petkovic (2004);
(9) A Mapping Study of Media Concentration and Ownership in Ten European Countries karya David Ward (2004) (Ignatius Haryanto, “Kepemilikan Media Terpusat dan Ancaman terhadap Demokrasi”, www.kompas.com, 24 Agustus 2004)
Di antara pesan utama buku-buku itu adalah kekhawatiran bahwa media massa telah dimiliki oleh semakin sedikit orang dari waktu ke waktu. Bagdikian misalnya, melihat grup pemilik media di AS makin sedikit. Dalam survei pertamanya di tahun 1980-an, ia mencatat masih ada sekitar 20 grup media di seluruh AS. Selang beberapa tahun kemudian, ia kembali menghitung jumlah grup media yang ada di sana. Hasilnya mengejutkan karena jumlahnya tinggal belasan. Awal tahun 1990-an ia kembali melakukan survei. Jumlahnya makin sedikit. Hingga tahun 1997, tahun terakhir surveinya, tinggal lima grup media yang memiliki lebih dari 60 persen media di AS (Ignatius Haryanto, ibid).
Di Inggris, surat kabar terkemuka The Times dan media lain seperti The Daily Telegraph, The Economist dan masih banyak lagi, dimiliki ‘raja media’ Yahudi dari Australia, Rupert Murdoch. Demikian pula harian Sunday Times, majalah porno Sun dan News of the World juga milik Murdoch. Di AS, Murdoch memiliki koran New York Post, New York Times serta majalah Star dan The News Week. Tidak hanya itu, orang-orang Yahudi juga menguasai kantor-kantor berita raksasa seperti Reuter yang didirikan Julius Paul Reuter, orang Yahudi kelahiran Jerman yang kemudian pindah ke London. Ia juga memiliki Associated Press (AP) dan United Press International (UPI) yang berpusat di AS (Yudha Topan, “Mengubah Tradisi dari Membaca ke Menulis”; www.media-indonesia.com, 21 Juni 2004).
Monopoli media massa pada segelintir kaum kapitalis di Barat itu tentu punya dampak terhadap media Indonesia. Mengapa? Sebab 90% arus informasi dunia saat ini dikuasai Barat (Demonologi Islam, Asep Syaiful Romli, 2000). Jika demikian, Indonesia yang cuma menjadi pemain pinggrian dalam kapitalisme global pun hanya bisa mengekor saja terhadap apa pun tawaran isi media massa Barat, yang tentu membawa serta nilai-nilai kebebasan yang berlawanan dengan Islam.
Lalu, bagaimana dengan industri televisi di Indonesia sendiri, yang benyak menyuguhkan tayangan liberal? Hampir sama polanya dengan di Barat. Industri televisi di Indonesia pun hanya dimiliki oleh segelintir pemodal (kaum kapitalis), yang jelas pro dengan nilai kebebasan. Perusahaan Bhakti Investama menjadi pemilik modal di sejumlah stasiun televisi, seperti RCTI, Global TV, Metro TV, dan TPI. (Agus Sudibyo, Ekonomi Politik Penyiaran di Indonesia, Yogyakarta : LKiS, 2003).
Di hadapan kaum kapitalis dengan jaringan globalnya inilah, pemerintah kita yang tak bertanggung jawab tidak berdaya mempertahankan moral masyarakatnya. Pemerintah telah menyerah pasrah di hadapan kehendak kaum kapitalis dan membiarkan rakyatnya terperosok ke jurang kebejatan moral yang luar biasa. Inilah kondisi ekstrem yang disebut oleh George Soros sebagai market fundamentalism (fundamentalisme pasar).
Pada titik ekstrem itulah, kita jadi paham mengapa urusan moral akhirnya dikembalikan menjadi urusan pribadi, bukan lagi urusan pemerintah. Karena pemerintah memang tidak mau atau tidak mampu lagi mengaturnya. Jika dalam urusan LPG Menko Ekuin Aburizal Bakrie mengatakan, “Kalau tak bisa LPG ya jangan beli LPG” maka dalam urusan media liberal mungkin yang akan dikatakan, “Kalau tak suka acaranya, matikan saja TV yang Anda tonton.”
Jadi, sistem dan pranata formal yang semestinya ditegakkan pemerintah, ternyata telah lumpuh di hadapan rezim uang (baca: sistem kapitalisme). Padahal kalau kita merujuk ke pranata normatif yang berlaku, media liberal seharusnya dilarang. Karena media semacam itu sungguh tidak sesuai dengan UU Pers Nomor 40/1999 Pasal 3 bahwa pers nasional berfungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial. Pertanyaannya, pendidikan dan kontrol sosial macam apa yang ada dalam tayangan-tayangan bejat di media liberal saat ini?
Media liberal juga secara jelas berbenturan dengan pasal 36 Ayat 1 UU Penyiaran Nomor 32/2002 yang menyatakan isi siaran mengandung informasi, pendidikan, hiburan, dan manfaat untuk pembentukan intelektual, watak, moral, kemajuan, kekuatan bangsa, menjaga persatuan dan kesatuan, serta mengamalkan nilai-nilai agama dan budaya Indonesia. Pertanyaannya, watak dan moral seperti apakah yang akan dapat dibentuk dengan tayangan-tayangan amoral di media liberal saat ini?
Tapi sayang, pemerintah memang tak bertanggung jawab dan membuta tuli seakan-akan semua aturan itu tidak pernah ada. Segala sistem, aturan, prosedur jadi hancur berantakan ketika berhadapan dengan kekuatan “pasar”. Moralitas lalu dikembalikan menjadi urusan individu, bukan lagi urusan pemerintah.
Logika individualis ini sayangnya juga telah merasuk ke dalam sukma para seniman, artis, dan selebritis yang banyak berperan dalam industri hiburan di TV. Ketika muncul pro kontra pose bikini Artika Sari Devi —wakil Indonesia dalam Miss Universe— seniman Sujowo Tejo dengan santai mengomentari, “…Yang bikin porno itu pikiran kita.” Jadi, menurut logika Sujiwo Tejo, yang salah itu individunya (otaknya). Konsekuensinya, Artika tidak salah, media juga tak salah, pemerintah juga tak berdosa. Tentu saja, itu logika gila. Sebab kalau yang salah otaknya, tentu akan dibolehkan orang telanjang berlenggang kangkung di jalan, pasar, panggung hiburan, atau mungkin di film dan layar TV asalkan otak kita tetap sopan dan tidak ngeres. Astaghfirullah. Apakah budaya liar ala binatang seperti itu yang memang diinginkan?
Memang benar, sekarang sedang digodok RUU Pornografi dan Pornoaksi. Umat Islam tentu boleh berharap agar RUU itu menjadi UU yang akan meminimalkan tayangan media liberal. Tapi, apakah RUU itu akan disahkan DPR, itu persoalan lain yang masih menjadi tanda tanya besar. Nasib RUU itu ke depan sangat mengkhawatirkan. Mengapa? Karena kelompok Islam liberal dan berbagai LSM yang berhaluan sekuler telah menentang RUU itu secara beramai-ramai.
Jaringan Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Pro Perempuan, yang beranggotakan 35 organisasi perempuan —termasuk Komnas Perempuan, Kowani, Puan Amal Hayati, Muslimat NU, Cetro, Aliansi Pelangi Antarbangsa, Kalyanamitra, Pusat Krisis Terpadu RS Cipto Mangunkusumo, LBH Jakarta, dan LBH APIK Jakarta— menilai RUU tersebut justru berpotensi melahirkan kekerasan baru, menempatkan korban menjadi pelaku, terutama pada korban perempuan dan anak, melanggar kebebasan berekspresi, dan membakukan standar kesusilaan berdasarkan pemahaman satu kelompok saja (Kompas, 2/7/2005).
Ratna Batara Munti (seorang anggota jaringan tersebut) menyebut isi pasal-pasal mengenai pornoaksi berpotensi mengkriminalkan semua perempuan. Pasal mengenai “dilarang memperlihatkan payudara di muka umum”, katanya, tidak dijelaskan payudara siapa. Ratna bertanya sinis, “Bagaimana dengan ibu-ibu yang menyusui bayinya di muka umum? Bagaimana dengan kebiasaan masyarakat mandi dan buang air di kali?” Demikian pertanyaan rewel aktivis itu (Kompas, 2/7/2005).
Sayangnya, kelompok Islam liberal juga rewel menyoal RUU tersebut dengan pertanyaan-pertanyaan yang mementahkan dan bahkan menggugat RUU yang justru amat diperlukan umat Islam itu. Abdul Moqsith Ghazali (aktivis Jaringan Islam Liberal) mengugat pasal “dilarang mempertontonkan alat kelamin di muka umum” dengan bertanya, “Lalu bagaimana dengan orang yang mandi di sungai?” (Kompas, 2/7/2005).
Maka nampaknya perjalanan RUU dan Pornografi dan Pornoaksi itu masih panjang. Sebab hambatannya cukup besar, terutama dari kaum liberal-sekular yang, sadar atau tidak, telah menjadi agen-agen kapitalisme global, khususnya Amerika Serikat yang memang getol mendesakkan nilai-nilai kebebasan atas Dunia Islam.
Namun, bagaimana pun juga umat Islam tentu akan semakin dewasa dan sadar. Mereka lambat laun akan dapat mengerti mengapa media massa di sebuah negeri muslim, bukannya difungsikan untuk kemaslahatan umat, melainkan malah disalahgunakan untuk membejatkan moral demi uang. InsyaAllah umat akan sadar bahwa media liberal kita memang telah didikte oleh selera-selera sampah yang sengaja dijajakan oleh para pelaku, pengikut, dan agen kapitalisme global.
[admin]
1 Comments:
gemagitasi.blogspot.com is very informative. The article is very professionally written. I enjoy reading gemagitasi.blogspot.com every day.
cash advance loan
payday loans canada
Post a Comment
<< Home