Ilusi Kekuatan sang adidaya
Nervous. Itulah fenomena yang terlihat dalam politik Amerika, bukan hanya belakangan ini, tetapi sesungguhnya terjadi sejak era Clinton yang kedua. Perasaan nervous itu telah menggerogoti tokoh-tokoh politik dan pemikir Amerika, khususnya setelah terlihat banyaknya kegagalan, keragu-raguan, dan kelemahan dalam menyelesaikan berbagai problem internasional. Setelah itu, mulai terpupuk perasaan akan kehebatan kekuatan Amerika, dan perasan tersebut akhirnya menjelma menjadi arogansi, kesombongan, dan keangkuhan yang telah menyelinap dalam elemen-elemen kekuatan masyarakat Amerika. Perasaan ini bertambah kuat setelah Partai Republik memegang tampuk kekuasaan. Henry Kissinger, dalam bukunya, Does America Need a Foreign Policy? Toward a Diplomacy for The twenty-First Century (2001), mengungkapkan dengan ungkapan yang sangat tepat mengenai apa yang sedang mendominasi atmosfir politik Amerika, “Amerika Serikat di ujung millenium baru ini tengah menikmati keadidayaan yang bahkan belum pernah dirasakan oleh emperium terbesar sekalipun pada permulan sejarah; Amerika bisa menguasi dominasi yang tidak tertandingi di seluruh penjuru dunia.”
Dia juga mengatakan, “Angkatan bersenjata Amerika tersebar ke seluruh dunia dengan mudah dari Eropa Utara hingga Asia Tenggara, bahkan pangkalan-pangkalan ini akan berubah karena intervensi Amerika atas nama perdamaian menjadi kebutuhan militer yang permanen.
“Amerika Serikat adalah sumber dan penjaga institusi demokrasi di dunia.”
“Amerika bisa menguasai sistem moneter internasional dengan kucuran akumulasi modal investasi yang jauh lebih besar, dengan kepuasan yang jauh lebih menarik minat para investor, serta pasar ekspor asing yang sangat luas. Kebudayaan bangsa Amerika juga menjadi standar di seluruh pelosok dunia.”
Ketika pemerintahan George Bush Jr. belum mengevaluasi kembali berbagai kebijakan Amerika terhadap berbagai problem dunia, serta menetapkan dasar-dasar baru, tiba-tiba terjadi peristiwa Ledakan 11 September 2001. Kasus ini telah memberi motivasi baru kepada pemerintahan Amerika yang baru untuk beraksi. Peristiwa ini kemudian dieksploitasi dan dimulailah penyusunan dasar-dasar kebijakan baru yang dibangun berdasarkan asas dan titik tolak baru.
Kejatuhan rezim Taliban yang sangat cepat, cengkeraman Amerika secara dramatis atas Asia Tengah, serta berdirinya pangkalan militer darat baru Amerika di Qirgistan, Tajikistan, Afganistan dan cengkeraman totalnya di Pakistan; semuanya mempunyai pengaruh yang sangat besar yang membuat tokoh-tokoh pemerintahan Amerika itu kesetanan. Mereka semakin merasa arogan dan sombong dalam memperlakukan pihak lain. Kemenangan bohong Amerika atas Afganistan telah diumumkan kepada semua kalangan dalam atmosfir perpolitikan Amerika. Mereka semakin larut dalam ilusi dan terbius oleh mabuk politik sehingga menyebabkan mereka lupa ingatan, bahkan terhadap sekutu terdekat mereka sendiri.
Menteri Pertahanan Donald Rumsfeld telah membanjiri situasi ini dengan pernyataan-pernyataannya yang ilusif. Penyataan-pernyataan tersebut, antara lain, “Dalam peperangan, Anda wajib menyerang musuh sebelum musuh menyerang Anda.”
Pimpinan mayoritas Konggres dari Republik, Terry Mc Ollen, menyerukan kepada Konggres, “Ketika Presiden berbicara mengenai keadilan tugas kita dan keberanian tentara kita, maka kita semua harus sepakat.”
Dalam kondisi ketika para penguasa negeri Arab dan Islam masih tetap tunduk dan patuh, sementara mereka pun masih mengadopsi politik mediasi sebagaimana yang dinyatakan oleh Menteri Luar Negeri Qatar sebagai representasi mereka semua, maka Amerika semakin menginjak-injak berbagai tradisi dan basa-basi diplomatik sebelumnya. Padahal, Amerika sebelumnya masih mengindahkan dan menjaga harga diri mereka di depan media massa. Akan tetapi, semua itu telah digantikan dengan politik perbudakan dan penghinaan secara telanjang tanpa mempedulikan lagi berbagai reaksi rakyatnya.
Politik polaritas Amerika yang baru, yang identik dengan arogansi dan keangkuhan, benar-benar telah telanjang. Amerika bahkan memandang sebelah mata terhadap sekutunya, apalagi agen-agennya yang telah ditelanjanginya sendiri di muka umum, sebagaimana yang telah dilakukan terhadap Arab Saudi, Iran, Mesir, dan Pakistan. Amerika menyerang Arab Saudi dan menuduh sekolah-sekolah Salafiyyah-nya sebagai basis penghasil teroris, khususnya setelah 15 dari 19 terdakwa kasus peledakan pesawat di Washington dan New York adalah orang-orang Saudi. Amerika juga menyerang Iran dengan mengalamatkan tuduhan kepadanya sebagai sarang pelarian tokoh-tokoh al-Qaedah dan Taliban. Iran juga dituduh telah mensuplai senjata Hizbullah dan rakyat Palestina. Amerika juga telah memaksa India untuk melawan Pakistan dan menuduhnya sebagai sarang ekstremis. Sementara itu, Mesir berikut antek-anteknya telah dimiskinkan dengan tambahan beban keuangan, ekonomi, dan restriksi perdagangan.
Logika arogansi dan pandangan sebelah mata terhadap para sekutu dan antek-antek yang dipetik dari Peristiwa 11 September serta akibat dari kemenangan mudah yang diraih Amerika di Afganistan telah menjadi justifikasi bagi pemerintah Amerika untuk menjauhkan keterlibatan para sekutu dan antek-anteknya, bahkan terhadap ketidakbutuhannya atas keterlibatan mereka. Sekalipun Tony Blair berusaha untuk melakukan penyelarasan dengan Amerika, dan menyelaraskan Eropa dengannya, tetapi Amerika tidak mengindahkannya, serta tidak mau berbagi keuntungan dan hasil jarahan dengan Eropa. George Robertson, pimpinan NATO asal Inggris, menyatakan, “Eropa harus meningkatkan taraf kekuatan militernya agar mencapai taraf kekuatan militer Amerika. Amerika juga wajib membantu Eropa untuk meningkatkan kemampuan militernya.”
Dalam pernyataannya yang lain, dia menyatakan, “Dukungan para sekutu terhadap Washington mempunyai batas.”
Thomas Fredman, jurnalis terkenal asal Amerika, membantah pernyataan Robertson di Harian The New York Times dengan artikelnya yang berjudul, “The End of NATO,” dengan menyatakan, “Sebenarnya tidak ada NATO di luar Amerika, karena negara-negara sekutu yang lain hanya mengirim beberapa ratus personil militer ke medan perang yang paling belakang, kemudian tiba-tiba meminta bagian hasil jarahan dengan Amerika yang telah memberikan segala pengorbanannya.”
Dr. Ghassan al-Izzi, telah mengutip laporan pers Amerika dalam Harian al-Quds, yang menyatakan, “Sesungguhnya orang-orang Eropa tengah memainkan peranan sebagai pembantu rumah. Setelah serangan Amerika, mereka sibuk mengumpulkan penafian dan bantahan. Sementara itu, ketika Amerika mengobarkan peperangan, orang-orang Eropa terus berusaha mewujudkan perdamaian. Sesungguhnya Amerika, di bawah Pemerintah Bush, ingin memimpin dunia sendiri. Ini merupakan statemen yang sangat jelas.”
Jelas, Amerika telah mengubah pandangannya mengenai hubungannya dengan para sekutu dan antek-anteknya, setelah membukukan kemenangan mudah dan memperoleh keuntungan besar di Asia Tengah dalam waktu yang sangat singkat. Amerika merasa tidak perlu lagi merujuk termasuk kepada PBB, bahkan tidak juga kepada sekutu yang menempatkannya, yaitu NATO. Dalam Perang Teluk, Amerika masih perlu merujuk kepada Dewan Keamanan, dan meminta Dewan Keamanan untuk mengeluarkan keputusan yang menggunakan namanya. Dalam Perang Kosovo, Amerika masih berunding dan bekerjasama dengan negara-negara NATO. Akan tetapi, dalam Perang Afganistan dan seterusnya, Amerika tidak perlu meminta masukan manapun, bahkan tidak perlu merujuk kepada siapapun. Bush Jr. telah menyatakan, “Kami akan memerangi Irak, baik dengan sekutu maupun sendiri.”
Pemerintah Bush Jr. yang mengikuti langkah pemerintah Reagan telah mulai membangun dasar-dasar politik luar negeri baru yang relevan dengan kehebatan kekuatan Amerika. Demikianlah sebagaimana Reagan ketika itu telah membangun politik baru untuk mengakhiri Perang Dingin (Cold War) yang dihembuskan oleh Henry Truman pada tahun 1947, serta dikeluarkannya Uni Soviet secara internasional dengan menyebutnya sebagai ‘emperium setan’. Bush Jr. juga demikian. Ia telah mulai mengakhiri kebijakan yang digambarkannya sebagai kebijakan “ragu-ragu dan malu-malu” yang mengiringi fase Perang Dingin. Seakan-akan Bush Jr. menyebut bahwa fase “ragu-ragu dan malu-malu” yang dilanjutkan satu dekade telah berlalu untuk kemudian diakhiri dan memasuki fase monopoli dan meninggalkan keterlibatan pihak lain. Kebijakan inilah yang membiarkan Eropa menjadi nervous sekaligus memperlihatkan kebenciannya terhadap politik luar negeri baru Amerika.
Keburukan yang membelah persekutuan Eropa-Amerika itu adalah pernyataan-pernyataan Menteri Luar Negeri Hobert Fedryn, filosof politik Eropa, yang menyerang kebijakan Amerika secara terbuka dan berani. Ia menuduh kebijakan Amerika itu sebagai politik bodoh, murahan, dan memihak Israel yang memang represif terhadap rakyat Palestina. Dia menyerukan agar Eropa mempertahankan pandangan dan eksistensi mereka yang independen secara politis dari Amerika.
Pernyataan ini banyak diikuti oleh para politisi Eropa, di antaranya Yoshca Fisher, Menteri Luar Negeri Jerman, yang menyatakan, “Kekuatan terbesar di dunia saat ini tidak akan mungkin bisa memimpin dunia sendiri dengan jumlah penduduk 6 miliar jiwa menuju masa depan yang damai. Para sekutu Amerika juga bukanlah para pengekor.”
Criss Paten, salah seorang penentu kebijakan dalam hubungan luar negeri delegasi Eropa asal Inggris juga termasuk orang yang mengulang-ulang pernyataan Fedryn dan menuduh politik Amerika sebagai politik murahan.
Di antara mereka adalah Menteri Luar Negeri Inggris, Jack Satrou, yang menganggap pidato Bush Jr. mengenai kondisi persatuan yang di dalamnya juga menyebut-nyebut “poros kejahatan” sebagai pidato untuk konsumsi media massa domestik dan kosong alias asbun (asal bunyi). Pernyataan Satrou ini membangkitkan amarah pemerintah Amerika sehingga Amerika perlu menampik pernyataan Satrou dan menegaskan bahwa pernyataan sang Presiden itu memang benar.
Eropa menyadari bahaya tindakan Amerika yang terakhir terhadap politik luar negeri, menyadari sepenuhnya bahwa Amerika mulai memarjinalkannya, danmenyadari bahwa berbagai upaya Blair untuk berbagi kepentingan dan cengkraman dengan Amerika tidak berhasil, sehingga Eropa juga terpaksa menggunakan politik pertahanan. Eropa, khususnya Inggris, antara lain akan bertumpu pada politiknya di Afrika dan melakukan perlawanan terhadap dominasi Amerika di sana. Ini antara terlihat pada kunjungan bersama Menteri Luar Negeri Inggris dan Prancis ke beberapa negara di Afrika. Demikian juga kunjungan Blair ke beberapa negara Afrika bagian Barat dan permintaannya kepada Prancis agar menyelaraskan langkahnya dengan Inggris untuk mengukuhkan cengkeraman Eropa di sana dengan cover “bantuan untuk wilayah kulit hitam.”
Eropa, Rusia, dan Cina benar-benar telah mengetahui politik cengkeraman kekuatan yang mulai dijalankan oleh Amerika untuk mencengkram dunia; mereka mulai melawannya. Putin, Presiden Rusia, menyatakan, “Semua model hubungan internasional yang dibangun berdasarkan cengkeraman satu kekuatan tidak akan berumur panjang.”
Dengan demikian jelas, bahwa Amerika telah memasuki dunia dengan titik tolak internasional baru. Indikasi-indikasi titik tolak ini terlihat dengan jelas dan sangat cepat, khususnya setelah keberhasilan yang diraihnya di Afganistan dan kepatuhan dunia kepadanya serta tidak adanya perlawanan apapun yang layak disebutkan. Hal inilah yang membuat Amerika semakin serius untuk mencengkeram dunia dan menanam investasi untuk kekuatan pertahanannya sebagaimana yang ditunjukkan pada momentum 11 September. Caranya adalah dengan menciptakan kondisi ketegangan di dunia, memperumit permasalah internasional, dan mengelola krisis regional. Ini dilakukan dengan cara-cara yang bisa menyebabkan krisis tersebut meledak serta memercikkan perasaan kolektif secara terus-menerus mengenai ketidakamanan dan instabilitas di dunia yang mengilhami opini publik dunia, bahwa Amerikalah dewa penyelamat, sang pemimpin dunia. Akibatnya, negara-negara di dunia dan rakyatnya tidak mempunyai pilihan lain selain patuh kepada Amerika. Bush Jr. telah menyatakannya dengan jelas, bahwa dunia tidak akan mengenal stabilitas kecuali di bawah kepemimpinan Amerika.
Setelah peristiwa Afganistan, Amerika ingin melepaskan diri dari ikatan para sekutu Eropanya, membubarkan keterlibatan mereka dengannya dalam mengendalikan urusan dunia, serta memikul tanggungjawab dunia sendiri. Karena itu, kita melihat Amerika sengaja merusak apa yang dilakukan Eropa dengan mendekati Iran dan menjalin kesepahaman dengan Cina, Korea, dan mengembalikan eksistensinya di Timur Tengah.
Karena itu, Amerika sengaja menjegal setiap upaya Barat mendekati kepemimpinan Iran yang disebut-sebut sebagai pemimpin moderat, kemudian memojokkan Cina dan menyibukkannya dengan isu Taiwan dan isu-isu perdagangan, memberikan beberapa pecahan dan angin surga kepada Rusia, serta menenggelamkan negara-negara yang disebut Dunia Ketiga dengan utang dan kerusakan. Dengan demikian, Amerika memprediksi bahwa situasi internasional memang hanya miliknya, sehingga masyarakat internasional bisa dikendalikannya sendiri dan dialah yang akan memimpin kendali kepemimpinannya.
Hanya saja, politik polaritas yang arogan ini akan mengundang permusuhan terselubung dan akan mengorganisir permusuhan tersebut untuk melawannya. Di samping itu, ia akan mengubah mitra kerjasamanya, yaitu para sekutu dan antek-anteknya, menjadi musuh yang dendam kepadanya; yang menunggu kehancurannya; dan yang kelak akan memukulnya dengan pukulan yang lebih dahsyat.
Logika kekuatan otot akan memicu pihak lain merasa dendam serta memicu kebencian dan permusuhan yang sesungguhnya. Jika tidak ada ruang untuk mengartikulasikan perasaan ini, yaitu perasaan menjadi pemikiran, kemudian aksi, maka hasilnya pasti akan negatif, bahkan sangat destruktif. Amerika akan jatuh dari ketinggiannya, sementara tidak akan ada siapapun yang akan mengasihaninya sehingga akan ada yang mengatakan, “Kasihanilah pemimpin kaum yang terhina itu.”
Berbagai bangsa, khususnya umat Islam, yang merasakan kezaliman Amerika, jika telah mempunyai kondisi pemikiran dan politik yang pas, potensi mereka yang masih terpendam untuk mendirikan negara yang mulia dan terhormat, yaitu Negara Khilafah Islamiyah, akan segera meletus. Negara Khilafah Islamiyahlah yang akan merontokkan singgasana Amerika dan mengalahkannya. Bangsa-bangsa lain pun akan merasa senang dan ilusi akan kehebatan Amerika itu akan berbalik kepada yang empunya, sementara Amerika akan terkena sendiri batunya.
Dia juga mengatakan, “Angkatan bersenjata Amerika tersebar ke seluruh dunia dengan mudah dari Eropa Utara hingga Asia Tenggara, bahkan pangkalan-pangkalan ini akan berubah karena intervensi Amerika atas nama perdamaian menjadi kebutuhan militer yang permanen.
“Amerika Serikat adalah sumber dan penjaga institusi demokrasi di dunia.”
“Amerika bisa menguasai sistem moneter internasional dengan kucuran akumulasi modal investasi yang jauh lebih besar, dengan kepuasan yang jauh lebih menarik minat para investor, serta pasar ekspor asing yang sangat luas. Kebudayaan bangsa Amerika juga menjadi standar di seluruh pelosok dunia.”
Ketika pemerintahan George Bush Jr. belum mengevaluasi kembali berbagai kebijakan Amerika terhadap berbagai problem dunia, serta menetapkan dasar-dasar baru, tiba-tiba terjadi peristiwa Ledakan 11 September 2001. Kasus ini telah memberi motivasi baru kepada pemerintahan Amerika yang baru untuk beraksi. Peristiwa ini kemudian dieksploitasi dan dimulailah penyusunan dasar-dasar kebijakan baru yang dibangun berdasarkan asas dan titik tolak baru.
Kejatuhan rezim Taliban yang sangat cepat, cengkeraman Amerika secara dramatis atas Asia Tengah, serta berdirinya pangkalan militer darat baru Amerika di Qirgistan, Tajikistan, Afganistan dan cengkeraman totalnya di Pakistan; semuanya mempunyai pengaruh yang sangat besar yang membuat tokoh-tokoh pemerintahan Amerika itu kesetanan. Mereka semakin merasa arogan dan sombong dalam memperlakukan pihak lain. Kemenangan bohong Amerika atas Afganistan telah diumumkan kepada semua kalangan dalam atmosfir perpolitikan Amerika. Mereka semakin larut dalam ilusi dan terbius oleh mabuk politik sehingga menyebabkan mereka lupa ingatan, bahkan terhadap sekutu terdekat mereka sendiri.
Menteri Pertahanan Donald Rumsfeld telah membanjiri situasi ini dengan pernyataan-pernyataannya yang ilusif. Penyataan-pernyataan tersebut, antara lain, “Dalam peperangan, Anda wajib menyerang musuh sebelum musuh menyerang Anda.”
Pimpinan mayoritas Konggres dari Republik, Terry Mc Ollen, menyerukan kepada Konggres, “Ketika Presiden berbicara mengenai keadilan tugas kita dan keberanian tentara kita, maka kita semua harus sepakat.”
Dalam kondisi ketika para penguasa negeri Arab dan Islam masih tetap tunduk dan patuh, sementara mereka pun masih mengadopsi politik mediasi sebagaimana yang dinyatakan oleh Menteri Luar Negeri Qatar sebagai representasi mereka semua, maka Amerika semakin menginjak-injak berbagai tradisi dan basa-basi diplomatik sebelumnya. Padahal, Amerika sebelumnya masih mengindahkan dan menjaga harga diri mereka di depan media massa. Akan tetapi, semua itu telah digantikan dengan politik perbudakan dan penghinaan secara telanjang tanpa mempedulikan lagi berbagai reaksi rakyatnya.
Politik polaritas Amerika yang baru, yang identik dengan arogansi dan keangkuhan, benar-benar telah telanjang. Amerika bahkan memandang sebelah mata terhadap sekutunya, apalagi agen-agennya yang telah ditelanjanginya sendiri di muka umum, sebagaimana yang telah dilakukan terhadap Arab Saudi, Iran, Mesir, dan Pakistan. Amerika menyerang Arab Saudi dan menuduh sekolah-sekolah Salafiyyah-nya sebagai basis penghasil teroris, khususnya setelah 15 dari 19 terdakwa kasus peledakan pesawat di Washington dan New York adalah orang-orang Saudi. Amerika juga menyerang Iran dengan mengalamatkan tuduhan kepadanya sebagai sarang pelarian tokoh-tokoh al-Qaedah dan Taliban. Iran juga dituduh telah mensuplai senjata Hizbullah dan rakyat Palestina. Amerika juga telah memaksa India untuk melawan Pakistan dan menuduhnya sebagai sarang ekstremis. Sementara itu, Mesir berikut antek-anteknya telah dimiskinkan dengan tambahan beban keuangan, ekonomi, dan restriksi perdagangan.
Logika arogansi dan pandangan sebelah mata terhadap para sekutu dan antek-antek yang dipetik dari Peristiwa 11 September serta akibat dari kemenangan mudah yang diraih Amerika di Afganistan telah menjadi justifikasi bagi pemerintah Amerika untuk menjauhkan keterlibatan para sekutu dan antek-anteknya, bahkan terhadap ketidakbutuhannya atas keterlibatan mereka. Sekalipun Tony Blair berusaha untuk melakukan penyelarasan dengan Amerika, dan menyelaraskan Eropa dengannya, tetapi Amerika tidak mengindahkannya, serta tidak mau berbagi keuntungan dan hasil jarahan dengan Eropa. George Robertson, pimpinan NATO asal Inggris, menyatakan, “Eropa harus meningkatkan taraf kekuatan militernya agar mencapai taraf kekuatan militer Amerika. Amerika juga wajib membantu Eropa untuk meningkatkan kemampuan militernya.”
Dalam pernyataannya yang lain, dia menyatakan, “Dukungan para sekutu terhadap Washington mempunyai batas.”
Thomas Fredman, jurnalis terkenal asal Amerika, membantah pernyataan Robertson di Harian The New York Times dengan artikelnya yang berjudul, “The End of NATO,” dengan menyatakan, “Sebenarnya tidak ada NATO di luar Amerika, karena negara-negara sekutu yang lain hanya mengirim beberapa ratus personil militer ke medan perang yang paling belakang, kemudian tiba-tiba meminta bagian hasil jarahan dengan Amerika yang telah memberikan segala pengorbanannya.”
Dr. Ghassan al-Izzi, telah mengutip laporan pers Amerika dalam Harian al-Quds, yang menyatakan, “Sesungguhnya orang-orang Eropa tengah memainkan peranan sebagai pembantu rumah. Setelah serangan Amerika, mereka sibuk mengumpulkan penafian dan bantahan. Sementara itu, ketika Amerika mengobarkan peperangan, orang-orang Eropa terus berusaha mewujudkan perdamaian. Sesungguhnya Amerika, di bawah Pemerintah Bush, ingin memimpin dunia sendiri. Ini merupakan statemen yang sangat jelas.”
Jelas, Amerika telah mengubah pandangannya mengenai hubungannya dengan para sekutu dan antek-anteknya, setelah membukukan kemenangan mudah dan memperoleh keuntungan besar di Asia Tengah dalam waktu yang sangat singkat. Amerika merasa tidak perlu lagi merujuk termasuk kepada PBB, bahkan tidak juga kepada sekutu yang menempatkannya, yaitu NATO. Dalam Perang Teluk, Amerika masih perlu merujuk kepada Dewan Keamanan, dan meminta Dewan Keamanan untuk mengeluarkan keputusan yang menggunakan namanya. Dalam Perang Kosovo, Amerika masih berunding dan bekerjasama dengan negara-negara NATO. Akan tetapi, dalam Perang Afganistan dan seterusnya, Amerika tidak perlu meminta masukan manapun, bahkan tidak perlu merujuk kepada siapapun. Bush Jr. telah menyatakan, “Kami akan memerangi Irak, baik dengan sekutu maupun sendiri.”
Pemerintah Bush Jr. yang mengikuti langkah pemerintah Reagan telah mulai membangun dasar-dasar politik luar negeri baru yang relevan dengan kehebatan kekuatan Amerika. Demikianlah sebagaimana Reagan ketika itu telah membangun politik baru untuk mengakhiri Perang Dingin (Cold War) yang dihembuskan oleh Henry Truman pada tahun 1947, serta dikeluarkannya Uni Soviet secara internasional dengan menyebutnya sebagai ‘emperium setan’. Bush Jr. juga demikian. Ia telah mulai mengakhiri kebijakan yang digambarkannya sebagai kebijakan “ragu-ragu dan malu-malu” yang mengiringi fase Perang Dingin. Seakan-akan Bush Jr. menyebut bahwa fase “ragu-ragu dan malu-malu” yang dilanjutkan satu dekade telah berlalu untuk kemudian diakhiri dan memasuki fase monopoli dan meninggalkan keterlibatan pihak lain. Kebijakan inilah yang membiarkan Eropa menjadi nervous sekaligus memperlihatkan kebenciannya terhadap politik luar negeri baru Amerika.
Keburukan yang membelah persekutuan Eropa-Amerika itu adalah pernyataan-pernyataan Menteri Luar Negeri Hobert Fedryn, filosof politik Eropa, yang menyerang kebijakan Amerika secara terbuka dan berani. Ia menuduh kebijakan Amerika itu sebagai politik bodoh, murahan, dan memihak Israel yang memang represif terhadap rakyat Palestina. Dia menyerukan agar Eropa mempertahankan pandangan dan eksistensi mereka yang independen secara politis dari Amerika.
Pernyataan ini banyak diikuti oleh para politisi Eropa, di antaranya Yoshca Fisher, Menteri Luar Negeri Jerman, yang menyatakan, “Kekuatan terbesar di dunia saat ini tidak akan mungkin bisa memimpin dunia sendiri dengan jumlah penduduk 6 miliar jiwa menuju masa depan yang damai. Para sekutu Amerika juga bukanlah para pengekor.”
Criss Paten, salah seorang penentu kebijakan dalam hubungan luar negeri delegasi Eropa asal Inggris juga termasuk orang yang mengulang-ulang pernyataan Fedryn dan menuduh politik Amerika sebagai politik murahan.
Di antara mereka adalah Menteri Luar Negeri Inggris, Jack Satrou, yang menganggap pidato Bush Jr. mengenai kondisi persatuan yang di dalamnya juga menyebut-nyebut “poros kejahatan” sebagai pidato untuk konsumsi media massa domestik dan kosong alias asbun (asal bunyi). Pernyataan Satrou ini membangkitkan amarah pemerintah Amerika sehingga Amerika perlu menampik pernyataan Satrou dan menegaskan bahwa pernyataan sang Presiden itu memang benar.
Eropa menyadari bahaya tindakan Amerika yang terakhir terhadap politik luar negeri, menyadari sepenuhnya bahwa Amerika mulai memarjinalkannya, danmenyadari bahwa berbagai upaya Blair untuk berbagi kepentingan dan cengkraman dengan Amerika tidak berhasil, sehingga Eropa juga terpaksa menggunakan politik pertahanan. Eropa, khususnya Inggris, antara lain akan bertumpu pada politiknya di Afrika dan melakukan perlawanan terhadap dominasi Amerika di sana. Ini antara terlihat pada kunjungan bersama Menteri Luar Negeri Inggris dan Prancis ke beberapa negara di Afrika. Demikian juga kunjungan Blair ke beberapa negara Afrika bagian Barat dan permintaannya kepada Prancis agar menyelaraskan langkahnya dengan Inggris untuk mengukuhkan cengkeraman Eropa di sana dengan cover “bantuan untuk wilayah kulit hitam.”
Eropa, Rusia, dan Cina benar-benar telah mengetahui politik cengkeraman kekuatan yang mulai dijalankan oleh Amerika untuk mencengkram dunia; mereka mulai melawannya. Putin, Presiden Rusia, menyatakan, “Semua model hubungan internasional yang dibangun berdasarkan cengkeraman satu kekuatan tidak akan berumur panjang.”
Dengan demikian jelas, bahwa Amerika telah memasuki dunia dengan titik tolak internasional baru. Indikasi-indikasi titik tolak ini terlihat dengan jelas dan sangat cepat, khususnya setelah keberhasilan yang diraihnya di Afganistan dan kepatuhan dunia kepadanya serta tidak adanya perlawanan apapun yang layak disebutkan. Hal inilah yang membuat Amerika semakin serius untuk mencengkeram dunia dan menanam investasi untuk kekuatan pertahanannya sebagaimana yang ditunjukkan pada momentum 11 September. Caranya adalah dengan menciptakan kondisi ketegangan di dunia, memperumit permasalah internasional, dan mengelola krisis regional. Ini dilakukan dengan cara-cara yang bisa menyebabkan krisis tersebut meledak serta memercikkan perasaan kolektif secara terus-menerus mengenai ketidakamanan dan instabilitas di dunia yang mengilhami opini publik dunia, bahwa Amerikalah dewa penyelamat, sang pemimpin dunia. Akibatnya, negara-negara di dunia dan rakyatnya tidak mempunyai pilihan lain selain patuh kepada Amerika. Bush Jr. telah menyatakannya dengan jelas, bahwa dunia tidak akan mengenal stabilitas kecuali di bawah kepemimpinan Amerika.
Setelah peristiwa Afganistan, Amerika ingin melepaskan diri dari ikatan para sekutu Eropanya, membubarkan keterlibatan mereka dengannya dalam mengendalikan urusan dunia, serta memikul tanggungjawab dunia sendiri. Karena itu, kita melihat Amerika sengaja merusak apa yang dilakukan Eropa dengan mendekati Iran dan menjalin kesepahaman dengan Cina, Korea, dan mengembalikan eksistensinya di Timur Tengah.
Karena itu, Amerika sengaja menjegal setiap upaya Barat mendekati kepemimpinan Iran yang disebut-sebut sebagai pemimpin moderat, kemudian memojokkan Cina dan menyibukkannya dengan isu Taiwan dan isu-isu perdagangan, memberikan beberapa pecahan dan angin surga kepada Rusia, serta menenggelamkan negara-negara yang disebut Dunia Ketiga dengan utang dan kerusakan. Dengan demikian, Amerika memprediksi bahwa situasi internasional memang hanya miliknya, sehingga masyarakat internasional bisa dikendalikannya sendiri dan dialah yang akan memimpin kendali kepemimpinannya.
Hanya saja, politik polaritas yang arogan ini akan mengundang permusuhan terselubung dan akan mengorganisir permusuhan tersebut untuk melawannya. Di samping itu, ia akan mengubah mitra kerjasamanya, yaitu para sekutu dan antek-anteknya, menjadi musuh yang dendam kepadanya; yang menunggu kehancurannya; dan yang kelak akan memukulnya dengan pukulan yang lebih dahsyat.
Logika kekuatan otot akan memicu pihak lain merasa dendam serta memicu kebencian dan permusuhan yang sesungguhnya. Jika tidak ada ruang untuk mengartikulasikan perasaan ini, yaitu perasaan menjadi pemikiran, kemudian aksi, maka hasilnya pasti akan negatif, bahkan sangat destruktif. Amerika akan jatuh dari ketinggiannya, sementara tidak akan ada siapapun yang akan mengasihaninya sehingga akan ada yang mengatakan, “Kasihanilah pemimpin kaum yang terhina itu.”
Berbagai bangsa, khususnya umat Islam, yang merasakan kezaliman Amerika, jika telah mempunyai kondisi pemikiran dan politik yang pas, potensi mereka yang masih terpendam untuk mendirikan negara yang mulia dan terhormat, yaitu Negara Khilafah Islamiyah, akan segera meletus. Negara Khilafah Islamiyahlah yang akan merontokkan singgasana Amerika dan mengalahkannya. Bangsa-bangsa lain pun akan merasa senang dan ilusi akan kehebatan Amerika itu akan berbalik kepada yang empunya, sementara Amerika akan terkena sendiri batunya.
[bro' Hafidz abdurrahman]
0 Comments:
Post a Comment
<< Home