<body><script type="text/javascript"> function setAttributeOnload(object, attribute, val) { if(window.addEventListener) { window.addEventListener('load', function(){ object[attribute] = val; }, false); } else { window.attachEvent('onload', function(){ object[attribute] = val; }); } } </script> <div id="navbar-iframe-container"></div> <script type="text/javascript" src="https://apis.google.com/js/platform.js"></script> <script type="text/javascript"> gapi.load("gapi.iframes:gapi.iframes.style.bubble", function() { if (gapi.iframes && gapi.iframes.getContext) { gapi.iframes.getContext().openChild({ url: 'https://www.blogger.com/navbar.g?targetBlogID\x3d5137440835564969073\x26blogName\x3d.:+gemapembebasan-sulsel+:.\x26publishMode\x3dPUBLISH_MODE_BLOGSPOT\x26navbarType\x3dBLACK\x26layoutType\x3dCLASSIC\x26searchRoot\x3dhttps://gemagitasi.blogspot.com/search\x26blogLocale\x3den_US\x26v\x3d2\x26homepageUrl\x3dhttp://gemagitasi.blogspot.com/\x26vt\x3d-1558106023014281024', where: document.getElementById("navbar-iframe-container"), id: "navbar-iframe", messageHandlersFilter: gapi.iframes.CROSS_ORIGIN_IFRAMES_FILTER, messageHandlers: { 'blogger-ping': function() {} } }); } }); </script>
Monday, July 16, 2007

MENUJU KEBANGKITAN HAKIKI... sumbangsih sang revolusioner islam..

Bahwa umat Islam kini tengah mengalami banyak problem telah dipahami. Bahwa umat Islam karenanya harus bangkit telah pula disadari. Hanya saja, belum terlalu jelas apa yang dimaksud dengan bangkit dan kebangkitan umat, apa pula yang harus menjadi landasan bagi dicapainya kebangkitan umat Islam yang hakiki dan yang terpenting bagaimana thariqah (metode) untuk membangkitkan umat? Jelas sekali, memahami semua itu teramat penting sebelum melangkah dalam kerja-kerja serius untuk mengentaskan umat dari keterpurukannya sekarang ini.



Landasan Kebangkitan
Landasan untuk bangkit bisa karena berbagai hal. Misalnya untuk meningkatkan martabat suatu kaum atau bangsa, atau dorongan untuk meningkatkan tarat kehidupan ekonomi dan mengejar ketertinggalan di bidang sains dan teknologi. Landasan apa yang membuat suatu masyarakat bangkit akan menentukan langkah apa yang akan ditempuh untuk menuju kebangkitan yang dimaksud. Jika pencapaian ekonomi dianggap sebagai landasan, sudah tentu kebangkitan akan dimulai dari menyediakan modal, pelatihan dan berbagai macam prasarat bagi meningkatnya kegiatan ekonomi. Tetapi benarkah motivasi itu yang harus dipakai sebagai landasan menuju kebangkitan yang hakiki?
Sebab, kenyataan membuktikan bahwa kemajuan ekonomi, ilmu pengetahuan dan teknologi dan akhirnya dicapainya martabat mulia suatu bangsa ternyata hanyalah merupakan hasil dari adanya proses berfikir untuk memecahkan suatu problema kehidupan, yang dilakukan secara terus-menerus dan menyeluruh. Inilah yang disebut sebagai pemikiran menyeluruh (fikrah kulliyah) atau aqidah, yakni pemikiran tentang kehidupan dunia (hakekat hidup), sebelum dan sesudahnya serta hubungan antar keduanya.
Fikrah atau pemikiran merupakan kekayaan yang tak ternilai harganya. Darinyalah dihasilkan berbagai kemajuan dan peningkatan taraf kehidupan. Oleh karena itu, kemajuan sains dan teknologi serta penemuan-penemuan baru pun hanya dapat dicapai bila fikrah ini sudah ada. Demikian pula meningkatnya taraf kehidupan dan kejayaan ekonomi suatu bangsa dapat dicapai bila bangsa tersebut sudah memiliki kerangka berfikir atau fikrah kulliyah untuk maju. Dengan demikian upaya untuk meraih kemajuan sains dan teknologi, industri dan kekuatan ekonomi kedudukannya jauh berada dibawah pemikiran menyeluruh atau fikrah kulliyah tadi.
Dengan fikrah, jikalau kekayaan maadiyah, yang bisa berupa kemajuan saintek maupun ekonomi yang dimiliki, merosot hancur, keadaan masyarakat masih mudah dan cepat dipulihkan selama masyarakat masih memegang pemikirannya. Sebaliknya, jika fikrah telah rusak maka secara berangsur-angsur dan pasti kekayaan maadiyah tadi akan habis dan kehilangan kreatifitas untuk menemukan yang baru, seperti kecenderungan yang kini tengah dialami oleh misalnya negara-negara di kawasan teluk (Kuwait, Arab Saudi dan sebagainya). Keadaan yang kedua inilah yang dialami kaum muslimin dewasa ini. Dari kajian materi sebelumnya, terbukti bahwa kemerosotan umat Islam akibat dari telah tercabutnya fikrah Islamiyyah, yang menyeluruh dan sempurna itu, dari dalam diri kaum muslimin.
Dengan demikian, kebangkitan Islam yang sangat didambakan itu hendaklah pada KEBANGKITAN FIKRIYYAH. Yakni dengan terlebih dulu mengembalikan pemikiran menyeluruh Islam kedalam diri umat. Pemikiran menyeluruh, yakni aqidah Islam inilah yang dahulu telah membangkitkan dan kemudian menghantarkan umat Islam pada puncak kejayaan dunia, baik dari segi politik, ekonomi, ilmu pengetahuan, maupun sosial budaya.

Kebangkitan Merupakan Sunnatullah
Telah menjadi suatu sunnatullah bahwa yang mampu membangkitkan masyarakat adalah aqidah, yakni pemikiran yang menyeluruh (fikrah kulliyyah) tentang kehidupan, baik kehidupan dunia, sebelum dunia maupun sesudahnya. Mengenai sumber pemikiran yang menjadi landasan kebangkitan itu sendiri bisa saja merupakan hasil dari kejeniusan manusia, karena potensi untuk bangkit memang dimiliki manusia secara universal. Hal ini diterangkan Allah dalam ayat:

"Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum, hingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri."(QS. Ar-Ra'du: 11)

Ayat ini bersifat 'aam (umum), yakni siapa saja dapat mencapai kemajuan dan kejayaan bila mereka telah mengubah sebab-sebab kemundurannya. Mengubah keadaan agar bangkit, selalu diawali dengan merumuskan konsep-konsep kebangkitan. Dan jika konsep tersebut ternyata mampu mengoptimalkan potensi manusia dengan suatu pemikiran yang menyeluruh, tentulah kebangkitan yang dimaksud dapat diraih.
Tetapi dari sekian banyak konsep tentang kehidupan yang muncul selama perjalanan sejarah, ternyata yang sampai pada kategori pemikiran menyeluruh (aqidah) yang mampu membangkitkan manusia (dalam arti meningkatnya kreativitas untuk memecahkan problema), hanyalah tiga macam, yakni aqidah sekularisme, komunisme, dan Islam. Dan diantara ketiganya, hanya Islam saja yang bukan bersumber dari rekaan manusia, melainkan dari wahyu Allah SWT.
Negara-negara Eropa dan Amerik pada abad 18 M bangkit berlandaskan sekularisme dan liberalisme. Sementara Rusia bangkit dengan fikrah materialisme (al-maadiyah). Atas dasar fikrah ini, melalui Revolusi Bolshevik tahun 1917 yang merobohkan kekuasaan Para Tsar, berdirilah pemerintah Rusia. Bahkan sepanjang kurun 70 tahun kemudian pernah menjadi salah satu adikuasa dunia.
Sementara, dunia Arab sejak abad ke-7 bangkit dengan fikrah Islam yang dibawa oleh Rasulullah Muhammad saw. sebagai risalah Allah SWT. Di atas landasan fikrah ini didirikanlah pemerintahan Islam yang mampu mencapai kebangkitan bukan saja di dunia Arab, melainkan mencakup seluruh kekhilafahan Islam di masa kejayaannya selama lebih dari sepuluh abad. Ini semua merupakan argumen yang logis, bahwa jalan untuk mencapai kebangkitan adalah dengan mendirikan suatu pemerintahan atas dasar sebuah fikrah kulliyah, yakni aqidah.
Maka, jikalau aqidah Islam telah luntur dari sebagian besar kaum muslimin, maka kejayaan akan hilang dan berganti menjadi kemerosotan. Sekalipun pada sebagian umat Islam mungkin masih dimiliki aqidah yang utuh, namun aturan yang dipakai untuk memecahkan problema sehari-hari oleh negara dimana mereka tinggal bukan bersumber dari aqidah Islam. Mereka menerapkan aturan sekuler, hanya lantaran silau terhadap apa yang dinamakan kemajuan yang diraih negara-negara Barat, bukan karena mereka menguasai fikrahnya. Sehingga wajarlah kalau mereka tidak pernah mencapai kebangkitan seperti yang diperoleh dunia Barat, karena hanya "mencuplik" aturannya tanpa dilandasi fikrahnya secara menyeluruh.
Bukti paling jelas yang menunjukkan kebenaran pernyataan diatas adalah pemerintahan sekuler yang didirikan Mustafa Kemal Ataturk di Turki. Sebelumnya, dia meyakini bahwa dengan menerapkan sistem pemerintahan diatas landasan perundangan dan hukum-hukum Barat, dan memusnahkan sama sekali segala sesuatu yang berbau Islam, akan dicapai kemajuan. Sistem tersebut ternyata memang dapat diterapkan dengan kekuatan, akan tetapi hingga saat ini tidak satupun menghasilkan suatu kebangkitan. Turki sekuler bukannya maju malahan jauh lebih mundur dibandingkan masa-masa sebelumnya (1924). Sementara, Lenin di Rusia dalam kurun yang tidak berbeda jauh (tahun 1917) ternyata mampu membangkitkan Rusia menjadi suatu kekuatan yang disegani dan ditakuti dunia. Ini tidak mengherankan, karena Lenin mendirikan pemerintahannya diatas landasan suatu fikrah menyeluruh yakni aqidah komunisme (syuyu'iyyah). Dari fikrah ini terpancar pemecahan problematika kehidupan sehari-hari dalam wujud perundang-undangan. Dengan membandingkan dua negara diatas, jelas bagi kita bahwa berdirinya pemerintahan diatas dasar perundang-undangan semata, tanpa dilandasi pemikiran menyeluruh, justru menghalangi rakyat menuju kebangkitan.
Contoh lainnya adalah tindakan Gamal Abdul Nasser di Mesir. Pada tahun 1952 dia melakukan kudeta dan mengganti sistem pemerintahan dari Kerajaan menjadi Republik (al-jumhuriyyah). Dengan begitu semangat ia menggerakkan land-reform dan menerapkan sistem sosialisme yang dipropagandakan sebagai sosialisme negara. Akan tetapi yang dialaminya justru hanya kekecewaan. Hasilnya? Mesir tetap tidak bangkit. Bahkan sebaliknya dari segi fikrah, ekonomi dan politik jauh lebih mundur dibanding sebelum tahun 1952.
Gejala serupa kini dialami oleh banyak negara yang mayoritas penduduknya muslim. Pengambilan perundangan Barat (sekular), Timur (sosialis) ataupun Islam secara parsial dan campur aduk, tanpa dilandasi satu fikrah tertentu tidak mungkin menghasilkan kebangkitan.

Kebangkitan Hakiki
Bila sekularisme, sosialisem dan Islam masing-masing telah berhasil membangkitkan suatu komunitas masyarakat, pertanyaannya mana diantara ketiga kebangkitan yang dicapai itu merupakan kebangkitan yang hakiki? Kebangkitan hakiki adalah kebangkitan yang benar (shahih). Apabila kita hendak menilai hakekat sebuah kebangkitan haruslah didasarkan pada tolok ukur yang shahih.
Berdasarkan tolok ukurnya, terdapat dua macam kebangkitan. Yakni pertama: Kebangkitan yang hakiki dan yang kedua: kebangkitan yang salah, semu dan tidak lestari.
Kebangkitan yang hakiki haruslah dilandasi aqidah yang shahih. Sedang shahih tidaknya suatu aqidah dapat dinilai dari tiga kriteria, yakni:
Memuaskan akal sehat?
Menentramkan ketentraman jiwa?
Sesuai dengan fitrah manusia?

Aqidah Sekularisme
Negara-negara seperti Amerika Serikat, Eropa Barat dan Rusia, tergolong negara yang maju atau bangkit. Hanya saja kebangkitan mereka bukanlah suatu kebangkitan yang sejati karena didirikan atas dasar aqidah yang cacat.
Sekularisme menetapkan doktrin kebebasan dan pemisahan agama dari kehidupan. Ia memandang bahwa kebahagiaan diperoleh dengan cara meraih kesenangan-kesenangan fisik. Sementara, masyarakat dipandang sebagai individu-individu, yang menurut mereka apabila semua persoalan individu berjalan teratur, maka semua persoalan masyarakat pun akan teratur pula. Sistim dan peraturan diambilnya dari prinsip tersebut dan manusialah -- menurut mereka -- yang berwenang menetapkan sistim dan peraturaan itu.
Kelemahan sekularisme yang paling menyolok adalah bahwa ia tidak memuaskan akal, sebab mereka mengakui bahwa alam semesta ini dicipta dan diatur oleh Tuhan tetapi Tuhan dianggap tidak kuasa (atau diberi kuasa) untuk menetapkan aturan buat manusia (impotent). Akibatnya, aturan Tuhan tidak dipakai sama sekali dari kehidupan. Selain itu, aqidah ini juga berlawanan dengan fitrah manusia yang pada hakekatnya lemah, terbatas dan butuh kepada sesuatu. Dengan sekularisme, kemampuan manusia "dipaksakan" untuk membuat perundangan sendiri dan memecahkan seluruh problema kehidupan. Jelas tidak akan mungkin bisa. Kalaupun bisa, akibatnya ternyata sangat fatal. Seperti yang dirasakan dan dilihat dari kenyataan negara-negara sekuler manapun di dunia saat ini. Mereka tengah menghadapi berbagai macam problem mulai dari keresahan masyarakat, kebejatan moral, melebarnya jurang si kaya dan si miskin, meningkatnya kriminalitas, krisis ekonomi, krisis sosial dan sebagainya.

Aqidah Komunisme
Komunisme memandang bahwa materi adalah asal dari segala sesuatu. Tolok ukur yang dijadikan dasar kehidupan adalah perkembangan materi, yang selanjutnya akan menumbuhkan nilai-nilai. Masyarakat baginya adalah gabungan dari tanah, alat-alat produksi dan manusia. Manusia dan alam merupakan satu kesatuan materi. Apabila materi mengalami perkembangan, maka manusia pun akan berkembang pula, dan dari perkembangannya itulah sistim dan peraturan ditetapkan.
Komunisme tidak sesuai dengan fitrah manusia. Komunisme telah mengingkari naluri manusia, khususnya naluri beragama (gharizah tadayyun) dan keinginan untuk memiliki. Pengingkaran komunisme terhadap adanya Tuhan Pencipta materi sangatlah tidak masuk akal. Sebab, dengan akal yang paling sederhanapun dapat dibuktikan bahwa suatu keteraturan tak mungkin terjadi secara kebetulan, dan setiap benda pasti butuh terhadap aturan-aturan yang lekat dengannya.
Pantaslah kalau dalam negara sosialis/komunis selalu mempraktekkan "tangan besi" untuk memberlakukan segenap doktrin dan peraturan-peraturannya, karena suatu aqidah yang tidak masuk akal dan menentang fitrah manusia tidak mungkin dapat diterapkan tanpa "pemaksaan". Pada awal pemerintahan Stalin di Rusia sedikitnya ada 11.000 petani yang tewas dibunuh karena tidak mentaati kebijakan ekonomi Stalin, dan tak terhitung lagi pembunuhan terhadap teman politiknya sendiri. Kepincangan aturan sosialis dapat pula dideteksi dari "keresahan rakyatnya", misalnya peristiwa penyeberangan Tembok Berlin oleh rakyat Berlin Timur yang menganut sosialis ke Berlin Barat yang mereka ketahui "lebih bebas". Yang paling gamblang, ideologi itu akhirnya memang tumbang. Bukan oleh siapa-siapa, melainkan oleh rakyatnya sendiri.

Aqidah Islam
Islam menyerukan bahwa Allah adalah Dzat Pencipta alam semesta dan Ia telah mengutus RasulNya, Muhammad saw. untuk membawa suatu konsep hidup kepada manusia. Manusia adalah khalifah di bumi yang akan mempertanggung jawabkan semua perbuatannya di akherat kelak. Islam menyatakan bahwa masyarakat haruslah bertumpu pada aqidahnya. Dan bahwa undang-undang harus datang dari Allah, bukan manusia yang serba terbatas, dengan sumber aturan adalah kitan Al-Qur'an dan Sunnah RasulNya.
Inilah satu-satunya aqidah yang tidak cacat, yang mampu memuaskan akal, menentramkan jiwa dan sesuai dengan fitrah manusia. Sebagai aqidah yang diturunkan oleh Allah SWT, kesempurnaan dan kemurniannya tidak perlu disangsikan. Dengan demikian, hanya kebangkitan yang berlandaskan fikrah Islamlah yang layak dinamakan kebangkitan hakiki.
Aqidah Islam beserta syari'ah yang bersumber daripadanya telah terbukti dapat mengantarkan umatnya pada kebangkitan yang luar biasa selama kurang lebih 13 abad, dan telah menanamkan keyakinan kepada sekian banyak bangsa-bangsa di dunia tanpa paksaan. Ini tidak pernah dicapai oleh ideologi sekularisme maupun sosialisme. Kedua ideologi ini gagal memberikan kepuasan hakiki karena kebangkitan yang dihasilkannya hanyalah kebangkitan yang semu. Sekaligus gagal total dalam usahanya membelokkan sebagian kaum muslimin yang hidup di bawah kekuasaannya dari aqidah Islam untuk mengikuti aqidah mereka.
Sudah saatnya kaum muslimin sadar akan kebobrokan sistim sekularisme dan sosialisme. Selanjutnya cepat-cepat kembali kepada Islam. Mereka harus kembali kepada fikrah Islam sebagai landasan kebangkitan. Bukan dasar dasar yang lain.
Oleh karena itu perlu pula dipertanyakan pula konsep kebangkitan akhlaqiyah yang menganggap bahwa dengan sempurnanya akhlaq tiap individu muslim pastilah ummat ini dapat meraih kebangkitan. Padahal jika dikaji lebih jauh dengan akhlaq -- misalnya jujur, amanah dan menepati janji -- memang dapat membuat seseorang konsisten dengan apa yang telah ada. Tapi karena sifat akhlaq bersifat universal sehingga tidak mendorong kreativitas untuk memecahkan problema baru dengan pemecahan yang khas.
Memang benar masalah kebejatan akhlak masyarakat perlu mendapat perhatian. Akan tetapi suatu kemustahilan jika dakwah memprioritaskan perubahan akhlak, tanpa meletakkan dulu dasar-dasar aqidah yang melandasi terbentuknya akhlak Islam. Sebab, akhlak yang Islami muncul apabila sudah ada keimanan dan dorongan untuk mengamalkannya. Seringkali kita dengar seruan berikut, "Apabila seluruh aparat pemerintah tingkat atas maupun bawah, pengusaha-pengusaha, para pendidik, pedagang dan petani telah JUJUR, BERSIH DAN MENEPATI TUGASNYA, maka negara akan bangkit dan meraih kemajuan."
Ini tentu saja hanyalah ajakan yang bersifat umum, dan merupakan khayalan karena mengharapkan akhlaq yang baik sementara fikrahnya belepotan dengan ide-ide sekuler. Pelaksanan akhlaq yang "dipaksakan" tidak akan bertahan lama, dan hanya menghasilkan manusia-manusia hipokrit saja. Akhlaq yang Islamy akan langgeng karena terdapat kekuatan pendorong yang tumbuh dari dalam sendiri, yakni POLA PIKIR ISLAMI yang melandasi seluruh perbuatan manusia. sebagai contoh adalah kota Madinah, yang saat ini merupakan negeri yang terkenal keluhuran akhlaqnya di seluruh dunia. Akan tetapi disana sekarang belum tampak tanda-tanda kebangkitan, karena dorongan untuk bangkit memang tidak dipengaruhi oleh ketinggian akhlaqnya.
Jelaslah, bahwa tidak ada alternatif lain untuk memulai kebangkitan hakiki selain dari MENGUBAH PEMIKIRAN DASAR (AQIDAH) dahulu. Selanjutnya aqidah ini dijadikan sebagai dasar kehidupan sehari-hari sekaligus mengarahkan kehidupan umat Islam agar sesuai dengan hukum-hukum yang terpancar dari fikroh Islam. Sepanjang sejarahnya Islam mampu memecahkan berbagai masalah baru dalam kehidupan, yakni dengan jalan ijtihad dengan tetap berpedoman pada fikroh Islam. Dengan menempuh cara seperti ini kebangkitan hakiki akan tercapai, bukan sekedar kebangkitan yang semu. Sungguh, Islam telah membangkitan umat terdahulu dan Insya Allah, ia akan mengulangi kembali untuk kedua kalinya.

Thariqah Kebangkitan
Dari fakta-fakta dan perbandingan-perbandingan yang telah dilakukan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa untuk meraih kebangkitan haruslah dikembalikan kepada pemikiran yang mendasar, yakni pemikiran tentang kehidupan dan hubungannya dengan keadaan sebelum dan sesudahnya (aqidah). Kebangkitan hakiki bukan dinilai dari meningkatnya taraf ekonomi atau moral suatu masyarakat, bukan pula dari kemajuan sains dan teknologi, sebagaimana anggapan yang sering terdengar. Kebangkitan umat yang sebenarnya adalah meningkatnya taraf berpikir (irtifa'u al-fikri) mereka di atas landasan aqidah yang shahih yakni aqidah Islamiyah. Dengan asas inilah ditegakkan pemikiran-pemikiran lain yang memecahkan problematika kehidupannya, termasuk didalamnya problematika sosial, ekonomi, moral, pendidikan, kesehatan dan lain-lain. Pemikiran ini bersumber pada Dzat yang mustahil terjadi kekurangan. Kesalahan baru mungkin terjadi pada cabang-cabangnya. Oleh sebab itu dengan asas pemikiran inilah, keberhasilan da'wah akan terjamin.
Adapun aqidah yang cacat (sekularisme dan komunisme) mungkin saja akan menghasilkan kebangkitan, tapi kebangkitan yang dicapai adalah kebangkitan yang salah. Kebangkitan yang tidak memberikan kepuasan akal dan ketentraman jiwa, serta melanggar fitrah manusia.
Dari pemahaman terhadap thariqah dakwah Rasulullah dalam membangkitkan umatnya, dapat dirumuskan Thariqah (metode) Kebangkitan sebagai berikut :

Bila landasan kebangkitan telah ditetapkan, selanjutnya pemikiran tersebut harus disampaikan kepada umat, dan harus dipahami secara utuh dan murni, sehingga memungkinkan mereka mengamalkan pemikiran itu dalam kenyataan hidupnya. Terjadinya kesesuaian antara pemikiran dan kenyataan hidupnya merupakan pertanda awal kebangkitan. Berdasarkan pemikiran yang shahih ini umat harus diajak untuk berpikir secara mendalam dalam setiap praktek kehidupannya dan apa-apa yang terjadi di sekelilingnya. Dengan begitu, mereka dapat menentukan sendiri mana yang benar dan yang salah, serta terdorong untuk memecahkan problema hidup sesuai dengan jalan yang HAQ dan memenangkannya, serta menjauhkan diri dari pemecahan yang BATHIL dan menyingkirkannya.
Sebagai contoh, terhadap pernyataan bahwa nasionalisme merupakan dasar pemikiran untuk bangkit dan menyatukan umat. Umat harus diajak untuk berpikir untuk menentukan kebenaran pernyataan itu. Misalnya, jika pemikiran tersebut sesuai dengan kenyataan bahwa dengan diterapkannya nasionalisme, bangsa Arab (misalnya) akan bangkit dan bersatu berarti konsep tersebut benar. Sebaliknya jika kenyataannya kebangkitan dan persatuan tidak tercapai berarti konsep itu tidak benar dan tidak layak dijadikan sebagai dasar kebangkitan.
Contoh lainnya konsep pergaulan bebas di tengah masyarakat. Menurut para penganut paham liberalisme, konsep itu dapat mengurangi problema sosial dan memperkecil gejolak seksual. Untuk menilai konsep ini, umat harus diajak melihat kenyataan di masyarakat. Apabila problema sosial yang muncul akibat seksual pada masyarakat sekular, yang membolehkan pergaulan bebas, lebih sedikit terjadi daripada di dalam masyarakat Islam yang melarang pergaulan bebas, maka berarti konsep tersebut benar. Jika yang terjadi sebaliknya, tentu ia salah, bahkan penerapannya justru menambah masalah bagi masyarakat.
Bila kesadaran umat terhadap penerapan pemikiran dengan kenyataan hidupnya mulai timbul, itulah pertanda kebangkitan akan dimulai. Kesadaran berpikir semacam ini sangat diperlukan untuk mendapatkan suatu kepastian terhadap kebenaran pemikiran dan penerapannya.

Jika langkah di atas telah tercapai, tibalah saatnya menegakkan suatu pemerintahan ATAS DASAR SEBUAH FIKRAH, yakni aqidah yang telah dipahami umat, BUKAN atas dasar peraturan perundang-undangan atau hukum-hukum saja. Mendirikan suatu pemerintahan atas dasar undang-undang atau hukum saja tidak akan menghasilkan kebangkitan. Cara demikian justru akan membius umat dan tampak dipaksakan sehingga kebangkitan makin jauh dari kenyataan karena umat merasa terkungkung. Jadi, kebangkitan tidak mungkin dicapai tanpa mendirikan pemerintahan atau kekuasaan di atas landasan fikroh yang menyeluruh, yakni aqidah. Dari sinilah akan lahir perundang-undangan dan hukum-hukum yang mengatur kehidupan.
Menegakkan suatu pemerintahan diatas landasan sebuah fikrah bukan berarti melakukan kudeta secara militer, atau merampas kekuasaan untuk kemudian menegakkan pemerintahan baru diatas landasan sebuah fikrah. Cara seperti ini juga tidak akan menghasilkan suatu kebangkitan dan tidak akan mampu menciptakan pemerintahan yang stabil. Kebangkitan haruslah ditempuh dengan cara memberikan pemahaman tentang fikrah yang digunakan sebagai dasar kebangkitan itu kepada umat secara meluas dan mendalam. Fikrah ini kelak dijadikan landasan kehidupan, yang kemudian diarahkan pada bentuk-bentuk aktivitas yang sesuai dengan fikrah tersebut. Bersamaan dengan itu umat sendirilah yang akan menuntut suatu pemerintahan dan kekuasaan atas dasar pemahamannya terhadap fikrah tadi. Dari sinilah awal mula terjadinya kebangkitan.
Yang penting dalam masalah ini bukanlah merebut pemerintahan melainkan menghimpun umat ke dalam satu fikrah dan diarahkan kehidupannya berdasarkan fikrah tadi. Mengambil alih pemerintahan bukanlah tujuan bahkan tidak boleh menjadi tujuan, melainkan hanya jalan menuju kebangkitan !.
Rasulullah saw. menyeru manusia kepada aqidah Islam dengan jalan dakwah fikriyah. Setelah penduduk Madinah dari suku Aus dan Khadzraj berhimpun atas dasar aqidah Islam yang telah menjadi fikrah mereka dan senantiasa mengarahkan kehidupannya ke arah fikroh tersebut, Rasulullah saw. menegakkan pemerintahan di Madinah hanya atas dasar aqidah Islam. Berkenaan dengan hal ini Rasulullah bersabda :

"Aku diperintahkan memerangi manusia sampai mereka mengucapkan 'Laa ilaaha illallah', maka siapa yang telah mengucap 'Laa ilaaha illallah' telah terpeliharalah dariku jiwa dan hartanya sesuai dengan kewajibannya dalam Islam, dan hisabnya terserah kepada Allah."(HR. Bukhori-Muslim)

Hadits ini menunjukkan ajakan Rasulullah kepada fikrah yang menghasilkan kebangkitan di Madinah dan menyebarkannya ke seluruh bangsa Arab. Setelah itu, bangsa-bangsa lain pun berbondong-bondong masuk Islam dan menganut fikrahnya. Mulailah dibuat piagam (watsiqoh) yang mengatur kehidupan rakyat serta membangun tatanan hidup berlandaskan aqidah Islam.
Thariqah kebangkitan inilah yang kini harus kita ikuti!
tanpa kompromi....!!!


[admin]


bacaki selengkapna!
Friday, July 6, 2007

SISTEM PENDIDIKAN DALAM IDEOLOGI SEKULER-KAPITALISME : studi kasus sistem pendidikan Amerika

Pemikiran-Pemikiran Dasar

Sebagaimana halnya dengan ideologi-ideologi yang lain, ideologi sekuler memiliki pemikiran dan metode untuk semua aspek kehidupan manusia, termasuk dalam sistem pendidikan. Ideologi sekuler-kapitalisme juga menjadikan sistem pendidikan sebagai salah satu sarana untuk mentransfer pemikiran-pemikiran mereka ke masyarakat dan mencetak para pengemban-pengemban baru ideologi ini.

Bahkan lebih dari itu, bila dilihat dari sejarah awal ideologi ini, akan terlihat pentingnya peranan dunia pendidikan bagi ideologi sekuler-kapitalisme. Pemikiran-pemikiran awal ideologi sekuler muncul dalam benak kaum pemikir dan intelektual abad pertengahan Eropa. Penindasan dan pengekangan pemikiran yang dilakukan institusi gereja di abad pertengahan menyebakan lahirnya pemikiran-pemikiran tandingan dari kaum intelektual Eropa yang berupa konsep kebebasan.



Perkembangan di Eropa, sebagai akibat kuatnya kaum menengah dan kaum intelektual, kemudian melahirkan revolusi industri, yang memunculkan kelompok berkuasa yang baru, yaitu para pemilik modal dan para pengusaha. Semenjak itulah, ideologi sekulerisme menjadi lebih dominan pada sektor ekonominya, dan lebih sering disebut sebagai ideologi kapitalisme. Walaupun begitu, peran penting para cendekiawan dan intelektual masih sangat kuat, karena mereka menjadi motor penggerak pemikiran-pemikiran ideologi ini, serta menjadi penjaga bagi keberlangsungan ideologi ini.

Sinergi antara para intelektual dan para pemilik modal, menjadi bentuk sinergi baru mirip seperti sinergi para gerejawan dan raja sebelumnya. Para intelektual merupakan ujung tombak dalam perang pemikiran yang dikobarkan ideologi ini dalam menghadapi pemikiran-pemikiran ideologi lawan, seperti ketika akan menjajah suatu negara yang mungkin di dalamnya terdapat suatu ideologi baik diemban oleh negara tersebut ataupun diemban oleh sebagian masyarakatnya, ataupun ketika berusaha mendominasi percaturan politik dunia.

Pemikiran-pemikiran ideologi sekuler-kapitalisme didasarkan pada ide dasar pemisahan agama dari kehidupan, sehingga kehidupan pun kemudian diatur berdasarkan pada pemikiran manusia. Dalam hal pengaturan kehidupan yang menjadi asasnya adalah asas manfaat sedangkan tujuannya adalah mencapai kebahagian/kesejahteraan material semaksimal mungkin. Untuk mencapai tujuannya, terdapat beberapa konsep-konsep yang hendak diwujudkan dan dijaga, demi tetap terjaganya sekulerisme. Konsep-konsep ini berintikan pada konsep kebebasan, yaitu: konsep kebebasan kepemilikan, kebebasan berpendapat/berekspresi, kebebasan beragama/berkeyakinan, dan kebebasan bertingkahlaku.

Pemikiran ideologi sekuler kapitalisme dalam sistem pendidikan berlandaskan pada konsep-konsep serta asas-asas di atas. Dunia pendidikan difungsikan sebagai penopang bagi mesin industri kapitalisme, sehingga tujuan dari pendidikan dalam ideologi ini adalah untuk mencetak individu-individu yang profesional yang dapat mendukung keberlangsungan industri-industri mereka, intinya adalah mencetak para pekerja yang baik.

Karena itu terkadang negara diharuskan ikut mendukung bahkan mungkin juga total mendanai masalah pendidikan. Hal ini karena pendidikan dipandang sebagai investasi, dan dengan menggunakan negara maka biaya investasi untuk mencetak pekerja-pekerja yang tangguh bagi mesin industri kapitalis, akhirnya ditanggung oleh masyarakat melalui pajak. Bentuk pendanaan oleh negara dalam dunia pendidikan ternyata bervariasi antara satu negara barat dengan negara yang lainnya. Negara seperti Jerman dan Austria, yang menerapkan sosialisme negara, mendanai seluruh sistem pendidikannya, dari tingkat rendah sampai perguruan tinggi. Sedangkan negara seperti USA, mendanani hampir keseluruhan pendidikan rendah sampai menengah, dan sebagian pendidikan tinggi. Jadi bukanlah tabu bagi negara, dalam ideologi kapitalisme, untuk ikut mendanai biaya pendidikan.

Untuk menjaga kebebasan berpendapat/berkespresi, maka peran dan campur tangan negara dalam masalah sistem pendidikan, harus sangat minimal, terutama dari segi kurikulum. Sebab bila tidak dikhawatirkan akan membatasi berkembangnya pemikiran-pemikiran atau pendapat-pendapat tertentu, lalu pemikiran dan pendapat yang sejalan dengan pemerintahlah yang akan dikembangkan, baik dalam dunia akademik, maupun di masyarakat.

Untuk menjaga kebebasan berpendapat/berekspresi ini, maka institusi pendidikan haruslah semaksimal mungkin, mandiri dan otonom, dalam pendanaan maupun dalam pembuatan kurikulum/materi ajar. Sehingga terkadang di suatu negera bentuk sistem pendidikannya tidaklah terstruktur rapi di bawah kendali negara. Seperti misalnya di USA, sistem pendidikan yang terstruktur tidak tampak dalam level pemerintah federal, tetapi hanya ada pada level pemerintah negara bagian, maupun pemerintahan lokal (distrik atau kota). Banyak badan-badan sertifikasi sekolah maupun sertifikasi guru yang tidak terkait langsung dengan struktur pemerintah.

Penanaman ideologi sekuler-kapitalisme kebanyakan tidak dilakukan secara langsung melalui kurikulum tetapi melalui materi pendidikan lewat para pendidik maupun lewat pendapat-pendapat para cendekiawan mereka yang mengembangkan pemikiran-pemikiran ini, kepada para peserta didik, khususnya di tingkat menegah ke atas, maupun ke masyarakat umum melalui media massa. Cara yang paling sering dipakai dalam dunia pendidikan adalah fakta sejarah bangsa Barat, ketika di masa penindasan gereja dibandingkan dengan masa reinaissance.

Untuk menjaga kebebasan kepemilikan, maka siapa saja, berhak dan boleh membuat institusi pendidikan, termasuk pemerintah, dan juga kalangan agamawan. Juga dibolehkan untuk menjadikan institusi pendidikan itu sebagai suatu lembaga profit, ataupun lembaga untuk mengkader orang-orang dengan pola agama tertentu. Tetapi bila dilakukan oleh negara, maka untuk menjaga kebebasan beragama/berkeyakinan, maka institusi tersebut tidak boleh mengajarkan pemikiran-pemikiran khusus agama tertentu, kecuali sebatas sebagai ilmu. Tidak boleh juga dalam institusi milik negara tadi adanya segala sesuatu yang bisa membuat institusi tersebut condong pada suatu kelompok dalam masyarakat, ataupun memusuhi suatu kelompok dalam masyarakat. Untuk menjamin keadilan dalam kebebasan kepemilikan, dalam hal dana-dana dari pemerintah untuk dunia pendidikan, termasuk dana untuk riset penelitian, tidak boleh memprioritaskan berdasarkan kepemilikan. Artinya, suatu institusi pendidikan milik pemerintah maupun milik non pemerintah memiliki hak dan kesempatan yang sama terhadap dana-dana pendidikan dan riset tadi. Termasuk juga dalam masalah kebebasan kepemilikan, institusi pendidikan bebas dalam mencari sumber-sumber dananya sendiri, baik dari masyarakat maupun dari pihak luar bahkan asing.

Sekilas Sistem Pendidikan di USA

Untuk memberikan gambaran aplikasi penerapan konsep-konsep pemikiran sekuler-kapitalisme dalam bidang pendididikan, akan kita berikan sekilas gambaran sistem pendidikan di USA. Walaupun model sistem pendidikan di USA bukan merupakan satu-satunya model penerapan konsep sekuler-kapitalisme dalam bidang pendidikan, tetapi karena saat ini USA merupakan negara adidaya, maka konsepnya dalam berbagai bidang akan terasa pengaruhnya di negeri-negeri lain, khususnya di Indonesia.

Sistem pendidikan di Amerika memiliki sifat yang khas yang berbeda dari sistem pendidikan di negara-negara lain, hal ini terutama karena sistem pemerintahannya yang mendelegasikan kebanyakan wewenang kepada pemerintahan negara bagian dan pemerintahan lokal (distrik atau kota).

Amerika tidak memiliki sistem pendidikan nasional, yang ada adalah sistem pendidikan dalam artian terbatas, pada masing-masing negara bagian. Hal ini berdasarakan pada filosofi bahwa pemerintah (federal/pusat) harus dibatasi perannya, terutama dalam pengendalian kebanyakan fungsi-fungsi publik seperti sekolah, pelayanan sosial dsb. Kendali semacam itu harus berada di tangan negara bagian atau masyarakat dan pemerintahan lokal.

Karena itu di Amerika dalam bidang pendidikan dasar dan menengah, tidak ada kurikulum nasional, bahkan tidak ada kurikulum negara bagian. Apa yang ada hanyalah semacam standar-standar kompetensi lulusan yang ditetapkan oleh pemerintahan negara bagian ataupun pemerintahan lokal. Walaupun begitu pemerintah federal (pusat) diberi wewenang terbatas untuk mengintervensi dalam masalah pendidikan, bila terkait dengan empat hal, yaitu untuk :

- memajukan demokrasi,

- menjamin kesamaan dalam peluang pendidikan,

- meningkatkan produktivitas nasional,

- memperkuat pertahanan/ketahanan nasional.

Bentuk intervensi pemerintah pusat tidak dalam bentuk penentuan materi ajar, tetapi dalam bentuk usulan-usulan maupun program-program pendanaan dengan tujuan-tujuan tertentu. Sebagai akibatnya pendanaan pemerintah federal di bidang pendidikan sangat kecil, sebagai gambaran di tahun 2005 hanya 2,9 persen dari total budjet pemerintah federal yang dialokasikan untuk pendidikan. Total 2,9 persen dari dana federal tersebut hanya menyumbang antara 8 sampai 10 persen budjet pendidikan di seluruh Amerika. Ini berarti sumbangan terbesar pendanaan pendidikan ada pada pemerintah negara bagian dan dana masyarakat.

Sebagian besar sekolah tingkat dasar dan menengah dimiliki dan didanai oleh negara bagian dan pemerintah lokal, dan semuanya gratis. Tetapi terdapat juga sejumlah sekolah swasta yang tidak mendapat dana dari pemerintah, dan biasanya sangat mahal tetapi memiliki kualitas yang terkenal. Sekolah semacam ini biasanya dikelola oleh lembaga keagamaan, dan biasanya hanya dapat diakses oleh kelompok elit dan keluarga-keluarga kaya di Amerika. Kebanyakan para politikus dan negarawan Amerika adalah alumni sekolah-sekolah elit semacam ini.

Dalam bidang pendidikan tinggi, semua universitas memiliki otonomi yang sangat besar dalam masalah akademik dan pendanaan. Tidak ada kurikulum nasional dan juga tidak ada standarisasi kompetensi kelulusan di perguruan tinggi. Terdapat beberapa lembaga, khususnya kebanyakan majalah, yang melakukan perangkingan terhadap unviersitas-universitas, seperti US News and World Reports (menerbitkan America’s Best Colleges dan America’s Best Graduates Schools), dan Business Week (menerbitkan Best Business Schools), tetapi lembaga-lembaga ini bukan lembaga pemerintah. Juga terdapat berbagai lembaga akreditasi regional maupun nasional, yang mengakreditasi berbagai bidang pendidikan maupun bidang profesional. Tetapi lembaga akreditasi ini tidak terkait dengan pemerintah baik pusat maupun pemerintahan negara bagian.

Lembaga-lembaga akreditasi tadi semacam yayasan non profit yang kebanyakan anggotanya adalah para profesional terkait bidang yang diakreditasi. Lembaga-lembaga akreditasi tersebut memperoleh pengakuan melalui dua lembaga, Council of Higher Education Accreditation (CHEA suatu lembaga swasta - non pemerintah) dan US. Department of Education. Ketiadaan kurikulum maupun standar nasional maupun lokal di bidang pendidikan tinggi, menyebabkan kebanyakan universitas-unversitas di Amerika, membentuk kurikulumnya berdasarkan pada perkembangan pasar dunia kerja dan industri. Kerjasama dengan pihak perusahaan/industri juga sering dilakukan, dalam bentuk magang (internship), yang tentunya menguntungkan perusahaan karena mendapatkan sumberdaya manusia yang murah dengan kualitas yang memadai. Bentuk kerjasama dengan pihak industri, secara terbatas, juga menentukan pola kurikulum yang ada di suatu universitas.

Sebagian besar unversitas adalah universitas publik (negeri) yang dimiliki oleh negara bagian. Sebanyak 92 dari 100 universitas terbesar di Amerika adalah universitas publik (negeri) yang dimiliki negara-negara bagian. Tidak ada institusi pendidikan yang dimiliki negara federal kecuali beberapa akademi militer. Universitas-universitas publik tersebut dipimpin oleh board of trustees (semacam majelis wali amanat) yang bertanggung jawab kepada pemerintah negara bagian yang menjadi pemiliknya. Walaupun didanai oleh negara bagian, tetapi sebagian pendanaan universitas-unversitas publik juga berasal dari masyarakat, terutama peserta didik dalam bentuk SPP dan biaya-biaya lain, bahkan hanya sekitar 10 sampai 30 persen budjet universitas publik yang berasal dari pemerintah negara bagian di mana universitas itu berada. Selebihnya budjet universitas publik, berasal dari hibah, spp mahasiswa, kontrak-kontrak kerjasama dan sumbangan.

Walaupun tidak semahal SPP univesitas privat/swasta, SPP di universitas publik masih termasuk tinggi, sehingga masyarakat dari kalangan menengah bawah kesulitan dalam memasukinya, kecuali dengan bantuan sistem pendanaan. Banyak siswa yang tidak akan dapat merasakan pendidikan tinggi kecuali mendapat bantuan berupa grant (hibah) atau scholarship(beasiswa). Banyak juga siswa yang mengambil pinjaman khusus pendidikan (student loans) untuk biaya kuliahnya, yang nantinya dilunasi ketika dia sudah lulus. Untuk membantu mengurangi beban biaya pendidikan, kebanyakan universitas juga membuka pekerjaan untuk mahasiswanya, seperti bekerja sebagai asisten riset, maupun pekerjaan administrasi. Dengan mekanisme semacam ini, universitas dapat menjalankan fungsi-fungsinya dengan biaya yang lebih murah, karena mahasiswa pekerja (student worker) ini digaji dengan honor yang lebih rendah dari honor pekerja biasa, dan sering tidak mendapat keuntungan-keuntungan sebagaimana layaknya pekerja biasa di Amerika.

Selain universitas-universitas publik, terdapat sejumlah universitas privat (swasta). Tentu saja biaya kuliah di universitas-universitas ini sangat mahal, mencapai lima kali lipat dari biaya di universitas publik kebanyakan. Tetapi dalam bidang kualitas, hampir 25 posisi teratas dalam rangking-rangking berbagai bidang, kecuali tiga atau empat posisi, dikuasai oleh universitas-unversitas privat. Karena tidak menggunakan dana publik maka pengelolaan universitas-universitas privat ini lebih fleksibel dan bebas. Bila universitas publik tidak boleh membuka cabang di luar negara bagiannya, sebaliknya universitas privat dapat bebas menbuka cabang di berbagai tepat termasuk di luar negeri.

Universitas-universitas privat inilah yang banyak `mengekspor pendidikan’ ke berbagai negera. Mereka juga lebih bebas dalam memperoleh sumber-sumber pendanaan maupun bekerjasama dengan berbagai pihak (industri). Ketika berkaitan dengan pendanaan riset, pemerintah federal berkewajiban untuk memperlakukan semua lembaga pendidikan secara sama, sehingga universitas privat memiliki peluang yang sama dalam mendapat dana riset seperti halnya universitas publik. Kesemua hal di atas, ditambah dengan kebebasan dalam memperoleh dana-dana tambahan dari industri dan sumbangan pribadi yang tidak mudah diakses universitas publik, menyebabkan universitas-universitas privat lebih berkualitas dan beberapa di antaranya menjadi universitas unggulan taraf internasional.

Terlepas dari bentuk dan sistem pendidikan yang saat ini diterapkan di Amerika, dalam sejarah perkembangan Amerika terdapat beberapa hal fundamental yang sampai saat ini masih menjadi perdebatan dikalangan para ahli-ahli mereka antara lain:

1.Bagaimana seharusnya materi yang diajarkan di sekolah

2.Bagaimana seharusnya pendidikan dibagi/didistribusi

3.Bagaimana seharusnya mendistribusi otoritas pendidikan

4.Siapa yang seharusnya menanggung beban biaya pendidikan

5.Seberapa banyak sumber daya kita yang harus dikerahkan untuk dunia pendidikan.

Dan masih banyak lagi. R.Freeman Butts, pakar dari universitas Columbia dan pengarang banyak buku pendidikan, mengatakan bahwa akar penyebab perdebatan-perdebatan tersebut adalah adanya tiga pemikiran kuat yang berbeda dalam masyarakat Amerika:

1.Pemikiran nilai perekat, menginginkan sistem pendidikan menghasilkan warga negara yang efektif, terpelajar dan bertanggungjawab,

2.Pemikiran nilai-nilai pembeda, menginginkan nilai-nilai (minoritas) mereka terlayani,

3.Pemikiran modernisasi dan globalisasi, menekankan pentingnya membentuk `warga negara dunia’ dalam dunia yang saling berketergantungan, modern dan urban.

Pemanfaatan Sistem Pendidikan dalam Penjajahan

Dalam rangka penjajahan terhadap suatu negara, di mana di sana ada ideologi tertentu (Islam) yang diemban oleh sebagian masyarakatnya, maka pihak kapitalis penjajah akan melakukan serangan pemikiran untuk melemahkan dan melenyapkan ideologi musuh serta memperkuat masuknya ideologi sekuler kapitaliseme di negeri tersebut. Bidang pendidikan telah menjadi andalan mereka untuk memasukkan pemikiran-pemikiran ideologi mereka ke benak umat, sejak sebelum runtuhnya daulah khilafah Turki Usmani – dengan sekolah-sekolah misionaris yang menjadi awal penyebab keruntuhan daulah– sampai sekarang - dalam rangka menghabiskan sisa-sisa ideologi Islam sampai ke akar-akarnya.

Penanaman pemikiran-pemikiran barat ke benak masyarakat dilakukan dengan mendidik putra-putri kaum muslimin yang memiliki potensial dalam institusi-institusi pendidikan mereka, melalui berbagai program beasiswa yang mereka tawarkan, seperti misalnya program beasiswa Fulbright (USA), khususnya dalam bidang ilmu sosial-humaniora, ilmu pemerintahan, ilmu agama, dan ilmu ekonomi.

Orang-orang ini, setelah menyelesaikan pendidikan tingkat tinggi mereka, biasanya berpotensi menduduki posisi-posisi penting di berbagai bidang, dan setelah kembali ke tengah-tengah masyarakatnya akan secara langsung atau tidak langsung, sadar atau tidak sadar mempropagandakan dan memperjuangkan pemikiran-pemikiran Barat dan merusak pemikiran-pemikiran Islam di tengah masyarkat.

Mereka juga secara sadar atau tidak sadar menjalankan program-program penjajah Barat, seperti misalnya kelompok Mafia Berkley yang terkenal di jaman orde baru, yang memformat sistem ekonomi Indonesia mengikuti program penjajah. Ketika cengkraman penjajah Barat pada suatu negeri cukup kuat, berikutnya mereka akan mengarahkan sistem pendidikan negara tersebut agar dapat menopang rencana mereka untuk menjajah negeri tersebut, dengan menjadikannya seperti sistem pendidikan dalam sistem sekuler kapitalisme. Dengan itu mereka dapat mencetak pengemban dan pembela-pembela ideologi mereka langsung di negeri jajahan.

Selain itu dengan terbukanya (globalisasi) sistem pendidikan di negara tersebut, maka penjajah akan dapat lebih leluasa mengendalikan sumberdaya manusia di negeri tersebut, termasuk akses terhadap data-data penting sumberdaya alamnya. Termasuk juga menjadikan para ilmuwan di negeri tersebut untuk bekerja bagi kepentingan mereka. Ini dilakukan misalnya dengan memberikan dana bantuan penelitian di bidang-bidang non sains dan teknologi maupun kerjasama-kerjasama langsung antar perguruan tinggi terutama dalam bidang eksplorasi sumber daya alam.

Dalam masalah pendanaan pendidikan, negara terjajah, yang biasanya lemah secara ekonomi, dipaksa agar memperkecil subsidi pendidikan ataupun menghilangkan subsidi negara pada institusi pendidikan milik negara, serta mengubah institusi-institusi pendidikannya menjadi sekedar semacam "perusahaan milik negara". Akibatnya tentu adalah mahalnya biaya pendidikan, khususnya pendidikan tinggi. Walhasil negara tersebut akan kekurangan sumber daya manusia yang berpendidikan tinggi. Kekurangan SDM berkualitas tinggi ini justru menjadi keuntungan bagi penjajah, karena dengan begitu kebanyakan SDM adalah tenaga teknis maupun tenaga kasar, yang murah dan menguntungkan para pemilik modal.

Penerapan sistem pendidikan sekuler kapitalis serta masuknya pemikiran-pemikiran sekuler kapitalis dalam bidang pendidikan dapat sangat jelas dilihat di Indonesia. Antara lain dalam bidang pendanaan, pemerintah mulai mengubah perguruan tinggi-perguruan tinggi (PT) negeri terkenal menjadi bentuk BHMN dan nantinya BHP, yang memiliki otonomi luas terpisah dari pemiliknya (pemerintah). Dalam masalah dana dari pemerintah (dana hibah maupun dana penelitian), sekarang memperlakukan antara PTS dan PTN secara sama, yaitu memiliki peluang yang sama untuk mendapat dana-dana tersebut. Di bidang kurikulum pun sekarang tidak ada lagi kurikulum nasional, yang akan ada hanya standar-standar kompetensi siswa. Peran lembaga rangking perguruan tinggi asing pun sudah mulai terasa. Keberadaan majelis wali amanat, yang merupakan copy paste dari sistem board of trustee di universitas-universitas Amerika USA, lebih memperjelas pengaruh pemikiran sekuler kapitalis dalam sistem pendidikan tinggi.

Walhasil, dapat kita prediksi bila penjajahan sekuler kapitalisme dalam bidang pendidikan tidak dihentikan, maka gambaran dunia pendidikan di Indonesia akan semakin suram. Akan kita lihat PTS menjadi lebih kuat lebih berkualitas dan lebih dominan dalam dunia pendidikan, disertai dengan munculnya PT-PT swasta asing. Orientasi kurikulum PT akan mengikuti perkembangan pasar. Mahalnya pendidikan (khususnya pendidikan tinggi) bagi kebanyakan masyarakat. Munculnya sistem pinjaman siswa (student loans) untuk membayar biaya kuliah. Munculnya lembaga akreditasi dan perangkingan swasta. Desentralisasi sistem pendidikan dasar dan menengah, dan otonomi total (bidang pendanaan maupun akademik) universitas-universitas milik negara.


[admin]


bacaki selengkapna!

MELAWAN LIBERALISASI PENDIDIKAN TINGGI

Liberalisasi (kapitalisasi) pendidikan tinggi merupakan penerapan sistem kapitalisme dalam dunia pendidikan tinggi, dengan modus utamanya integrasi pendidikan tinggi dengan pasar global. Liberalisasi pendidikan tinggi berawal dari apa yang dilakukan oleh aktor-aktornya, yaitu Multi National Corporation (MNC) yang dibantu oleh Bank Dunia/IMF melalui kesepakatan yang dibuat oleh WTO untuk terjun dalam arus globalisasi berdasarkan paham neoliberalisme.

Sebagai salah satu varian kapitalisme, neoliberalisme merupakan bentuk modern liberalisme klasik dengan 3 (tiga) ide utamanya; yaitu pasar bebas, peran negara yang terbatas, dan individualisme (yakni kebebasan dan tanggung jawab individu). (Adams, 2004). Implikasi dari perpaduan ide pasar bebas dengan marjinalisasi peran negara dan pengutamaan tanggung jawab individu, adalah dijauhkannya peran dan tanggung jawab negara dalam kegiatan ekonomi, termasuk pembiayaan pendidikan. Pelepasan tanggung jawab negara dalam pendidikan dilegalkan dengan istilah lain yang menipu : "pembebasan pendidikan dari intervensi negara".


Di Indonesia, pelepasan tanggung jawab negara ini terwujud nyata sejak tahun 2000 ketika beberapa Perguruan Tinggi Negeri seperti UI, UGM, ITB dan IPB diubah bentuknya menjadi BHMN (Badan Hukum Milik Negara). Dengan format BHMN, pembiayaan pendidikan PTN-PTN tersebut tidak lagi sepenuhnya ditanggung pemerintah. Akhirnya PTN-PTN itu harus kesana kemari mencari dana sendiri, antara lain melalui "jalur khusus" dalam menerima mahasiswa. Biaya masuk jadi naik mulai Rp 25 juta sampai Rp 150 juta. Bahkan untuk masuk fakultas kedokteran sebuah PTN, ada mahasiswa yang harus membayar Rp 250 juta bahkan Rp 1 miliar (www.wikimu.com).

Liberalisasi pendidikan tinggi ini harus dicermati dan dikritisi oleh semua pihak, khususnya mereka yang berwenang dan berkecimpung di dunia pendidikan tinggi. Mengapa? Ada setidaknya 2 (dua) alasan. Pertama, karena liberalisasi pendidikan merupakan suatu proses konspiratif (kongkalikong) yang jahat. Kedua, karena liberalisasi pendidikan menimbulkan dampak-dampak destruktif yang berbahaya.

2. Konspirasi Liberalisasi Pendidikan Tinggi

Liberalisasi pendidikan tinggi tidak akan terjadi kalau tidak ada aktivitas aktor-aktor utama dan aktor pembantu yang saling bekerjasama dalam proyek globalisasi berdasarkan neoliberalisme sejak tahun 1980-an.

Padahal, globalisasi menurut Stiglitz (2003) merupakan interdependensi yang tidak simetris antarnegara, lembaga, dan aktornya (Effendi, 2007). Karena itu, interdependesi seperti itu pasti lebih menguntungkan negara-negara kapitalis yang memiliki keunggulan ekonomi dan teknologi, dan sebaliknya hanya menimbulkan kerugian bagi negara-negara Dunia Ketiga yang lemah. Tegasnya, bagi Dunia Ketiga termasuk Indonesia, globalisasi adalah kolonialisasi (Khor, 1995; Ling, 2000).

Globalisasi dengan demikian, tak berlebihan jika disebut bentuk mutakhir imperialisme Barat. Jeffry Sachs yang dikenal radikal dalam menanggapi globalisasi menilai bahwa globalisasi tak lain adalah bungkus baru dari developmentalisme yang merupakan episode lanjutan dari imperialisme yang gagal dalam bentuk awalnya (Prasetyantoko, 2001:15).

Oleh karena kerjasama dalam globalisasi ini adalah kerjasama dalam kejahatan, bukan dalam kebaikan, maka liberalisasi pendidikan tinggi kita sebut sebagai konspirasi alias kongkalikong. Allah SWT berfirman :

"Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan janganlah kamu tolong menolong dalam dosa dan pelanggaran..." (QS Al-Ma`idah [5] : 2)

Konspirasi liberalisasi pendidikan tinggi terwujud berkat ulah aktor-aktor utama dan aktor pembantu berikut ini (Wibowo, 2004; Mugasejati & Martanto, 2006; Nopriadi, 2007) :

1. Negara-negara kapitalis

2. Lembaga-lembaga Internasional (IMF, WTO, Bank Dunia)

3. Korporasi Multi Nasional (MNC/TNC)

4. Pemerintah Dunia Ketiga

(1) Negara-Negara Kapitalis

Negara-negara kapitalis merupakan aktor utama dalam liberalisasi pendidikan tinggi. Mengapa? Sebab mereka akan banyak mengeruk untung sangat besar. Sofian Effendi (2007) menerangkan ada 3 (tiga) negara yang paling mendapatkan keuntungan besar dari liberalisasi jasa pendidikan, yaitu Amerika Serikat, Inggris, dan Australia (Ender dan Fulton, Eds, 2002, hlm 104-105).

Pada tahun 2000 ekspor jasa pendidikan Amerika mencapai USD 14 miliar atau 126 triliun rupiah. Di Inggris sumbangan pendapatan dari ekspor jasa pendidikan mencapai 4 % dari penerimaan sektor jasa negara tersebut. Pada 1993 sektor jasa telah menyumbangkan 20 % PDB Australia, menyerap 80 % tenaga kerja dan merupakan 20 % dari ekspor total negeri kangguru tersebut. Fakta tersebut dapat menjelaskan mengapa tiga negara maju tersebut amat getol menuntut liberalisasi sektor jasa pendidikan melalui WTO.

Sofian Effendi (2007) menerangkan pula bahwa hingga saat ini, enam negara telah meminta Indonesia untuk membuka sektor jasa pendidikan yakni Australia, Amerika Serikat, Jepang, China, Korea, dan Selandia Baru. Subsektor jasa yang ingin dimasuki adalah pendidikan tinggi, pendidikan seumur hayat, dan pendidikan vocational dan profesi.

(2) Lembaga-Lembaga Internasional

Lembaga-lembaga internasional yang berperan strategis dalam liberalisasi pendidikan tinggi adalah tiga lembaga multilateral yang oleh Richard Peet (2002) disebut sebagai The Unholy Trinity (Tiga Serangkai Penuh Dosa), yaitu IMF, Bank Dunia dan WTO. Regulasi yang dikeluarkan ketiga lembaga tersebut secara perlahan tapi pasti akan mengakibatkan komodifikasi dan komersialisasi segala sesuatu yang dianggap berharga seperti : air, bahan pangan, kesehatan, karya seni, dan ilmu pengetahuan, apalagi teknologi. Semua itu terjadi terutama melalui proses marjinalisasi kekuasaan dan otoritas negara-negara Dunia Ketiga di dalam pengaturan ekonomi nasional mereka.

WTO akan teru menekan negara-negara anggotanya untuk menandatangani General Agreement on Trade in Services (GATS) yang mengatur liberalisasi perdagangan 12 sektor jasa, antara lain layanan kesehatan, teknologi informasi dan komunikasi, jasa akuntansi, pendidikan tinggi dan pendidikan selama hayat, serta jasa-jasa lainnya.

(3). Korporasi Multi/Trans Nasional (MNC/TNC)

Aktor ketiga ini secara langsung atau tidak memainkan peran penting dalam globalisasi, termasuk di dalamnya liberalisasi pendidikan tinggi. Berbagai MNC/TNC akan memanfaatkan pendidikan tinggi untuk mendapatkan tenaga kerja (SDM) yang murah dan pro kapitalis. Di sisi lain, perguruan tinggi akan dapat memanfaatkan MNC/TNC sebagai tempat magang dan sumber dana.

Berbagai lembaga pendidikan tinggi luar negeri swasta (privat) dapat dianggap sebagai MNC/TNC yang akan turut serta masuk ke dalam kancah pendidikan tinggi di Indonesia.

WTO sendiri telah mengidentifikasi empat mode penyediaan jasa pendidikan sebagai berikut: (1) Cross-border supply, institusi pendidikan tinggi luar negeri menawarkan kuliah-kuliah melalui internet dan online degree program, atau mode 1; (2) Consumtion abroad, adalah bentuk penyediaan jasa pendidikan tinggi yang paling dominan, mahasiswa belajar di perguruan tinggi luar negeri, disebut mode 2; (3) Commercial presence, atau kehadiran perguruan tinggi luar negeri dengan membentuk partnership, subsidiary, twinning arrangement dengan perguruan tinggi lokal, atau mode 3; (4) Presence of natural persons, dosen atau pengajar asing mengajar pada lembaga pendidikan lokal, atau mode 4.

Liberalisasi perguruan tinggi menuju perdagangan bebas jasa yang dipromosikan oleh WTO adalah untuk mendorong agar pemerintah negara-negara anggota tidak menghambat empat mode penyediaan jasa tersebut dengan kebijakan-kebijakan intervensionis.

(4). Pemerintah Dunia Ketiga

Masuknya kekuatan perusahaan multinasional dan imperialisme negara kapitalis dalam proyek globalisasi tidak akan berhasil tanpa ada penerimaan dan dukungan dari pemerintah negara dunia ketiga, entah secara sukarela atau terpaksa.

Pemerintah Indonesia (eksekutif), dan juga DPR (legislatif) sayang sekali secara sadar telah terlibat dalam konspirasi globalisasi ini. Sejak 1995 Indonesia telah menjadi anggota WTO dengan meratifikasi semua perjanjian-perjanjian perdagangan multilateral menjadi UU No 7 tahun 1994. Perjanjian tersebut mengatur tata cara perdagangan barang, jasa, dan trade related intellectual property rights (TRIPS) atau hal atas kepemilikan intelektual yang terkait dengan perdagangan. Dalam bidang jasa, yang masuk sebagai objek pengaturan WTO adalah semua jasa kecuali "jasa nonkomersial atau tidak bersaing dengan penyedia jasa lainnya."

Di samping langkah legal-formal itu, pemerintah dunia ketiga juga dapat dipersalahkan berkolaborasi dengan asing karena lemahnya mereka dalam mengelola negara. Liberalisasi pendidikan tinggi akan mudah mencari alasan untuk masuk Indionesia karena dua alasan : pertama, perhatian pemerintah Indonesia terhadap bidang pendidikan masih rendah. Kedua, secara umum mutu pendidikan nasional kita mulai sekolah dasar sampai peguruan tinggi, jauh tertinggal dari standar mutu internasional. Kedua alasan tersebut yang hakikatnya lahir dari ketidakbecusan pemerintah, sering menjadi alasan untuk "mengundang" masuknya penyedia jasa pendidikan dan pelatihan luar negeri ke Indonesia.

Peran pemerintah sebagai aktor konspirasi global akan semakin jelas, kalau kita melihat berbagai perangkat undang-undang yang menguntungkan kaum kapitalis global, namun di sisi lain menyengsarakan rakyat Indonesia. Lihat misalnya adanya UU Sumber Daya Air, UU Minyak dan Gas, UU Kelistrikan, UU Penanaman Modal, dan yang sedang dibahas saat ini di DPR, yakni RUU BHP.

RUU BHP direncanakan akan disahkan sebagai UU tahun 2010. RUU BHP ini merupakan salah satu proyek Dikti, yaitu Higher Education for Competitiveness Project (HECP) yang kemudian menjadi IMHERE (Indonesia Managing Higher Education for Relevance and Efficiency). Pendanaannya dibiayai melalui pinjaman (loan) dari Bank Dunia. Jelas RUU BHP membawa kepentingan asing.

3. Dampak Destruktif Liberalisasi Pendidikan

Liberalisasi pendidikan yang konspiratif tersebut, banyak membawa dampak negatif. Di antaranya adalah :

(1) Dampak ideologis : semakin kuatnya hegemoni idelogi kapitalisme-sekuler.

Hal ini akan diperkirakan terjadi, karena pada dasarnya pendidikan bukanlah sekedar tranfer pengentahuan, melainkan juga transfer nilai-nilai atau keyakinan (doktrin). Sebagaimana pesantren melestarikan doktrin Islam seperti syariah, jihad, dan Khilafah, pendidikan tinggi yang mengalami liberalisasi juga akan membawa serta melestarikan doktrin-doktrin khasnya, yaitu nilai-nilai kapitalisme-sekuler, seperti kebebasan, demokrasi, HAM, dan sebagainya. Khususnya ini akan terjadi pada bidang keilmuan sosial / humaniora. Program yang sering digunakan untuk menanamkan ideologi kufur ini adalah pertukaran pelajar/mahasiswa atau pemberian beasiswa. Joseph S. Nye dalam Soft Power (2004) mengutip mantan Menlu AS Collin Powell, bahwa program beasiswa akan membuat para alumni AS menjadi "diplomat" AS di kelak kemudian hari.

(2) Dampak politik : hancurnya kedaulatan negara untuk mengatur rakyatnya sendiri.

Globalisasi pendidikan tinggi walaupun bertujuan untuk memperbaiki mutu dan akses ke pendidikan tinggi, pasti merupakan gangguan terhadap kedaulatan Indonesia dalam mengatur salah satu tujuan kemerdekaannya, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Kemandirian bangsa ini, dalam perumusan kebijakan nasional untuk mengatur bidang pendidikan, mau tidak mau harus dikorbankan agar provider pendidikan tinggi komersial dari luar negeri dapat lebih leluasa masuk (baca : menjajah) ke Tanah Air.

(3) Dampak ekonomi : mahalnya biaya pendidikan.

Dampak yang paling mudah dilihat dan dirasakan dari proses kapitalisasi pendidikan tinggi adalah mahalnya biaya pendidikan. Survei membuktikan terjadinya peningkatan biaya pendidikan pada semua perguruan tinggi yang telah menjadi BHMN. Contohnya di UI. Biaya DPKP (Dana Peningkatan Kualitas Pendidikan) yang semual besarnya ahanya Rp 500 ribu meningkat tiga kali lipat menjadi Rp 1,5 juta setelah UI menjadi BHMN.

(4) Dampak Sosial : terjadinya kesenjangan kaya miskin

Mahalnya biaya pendidikan akan memunculkan jurang peluang antara calon mahasiswa yang kaya dan yang miskin. Yang kaya akan lebih mudah masuk ke perguruan tinggi favoritnya karena dia punya uang. Sedangkan yang miskin terpaksa gagal. Maka dalam perspektif jangka panjang, akan terjadi kesenjangan sosial di masyarakat. Yang kaya akan makin kaya, yang terpisah oleh jurang yang dalam dengan yang miskin yang gagal mengakses pendidikan tinggi.

4. Melawan Liberalisasi Pendidikan Tinggi

Liberalisasi pendidikan tinggi perlu dilawan karena menimbulkan banyak bahaya (dharar) seperti telah diuraikan. Padahal dalam kaidah fiqih dinyatakan :

Adh-Dharar yuzaalu

"Segala bentuk bahaya wajib dihilangkan."

Selain itu liberalisasi pendidikan adalah bagian dari imperialisme yang hanya akan memperkuat dominasi kafir atas muslim. Hal ini tidak boleh terjadi. Firman Allah SWT (artinya) :

"Dan Allah sekali-kali tidak akan menjadikan jalan bagi orang-orang kafir untuk menguasai orang-orang yang beriman." (QS An-Nisaa` : 141)

Strategi perlawanannya secara garis besar adalah sebagai berikut :

Pertama, langkah politik (al-kifah as-siyasi) :

(1) kepada masyarakat. Memberikan penyadaran kepada masyarakat, khususnya masyarakat kampus agar lebih menyadari kondisi yang terjadi. Tujuannya adalah agar mereka sadar terjadinya penjajahan melalui liberalisasi pendidikan. Langkah yang ditempuh adalah membongkar konspirasi jahat di balik liberalisasi pendidikan tinggi, menjelaskan bahaya-bahayanya, dan berusaha memberikan strategi untuk melawannya.

(2) kepada pemerintah. Memberikan kritik-kritik atas tindakan pemerintah yang tega menjadi komprador asing atau agen penjajah dalam liberalisasi pendidikan tinggi ini. Tujuannya agar pemerintah berhenti menjadi agen penjajah dan pengkhianat umat, serta kembali berpihak pada kepentingan umat.

(3) kepada DPR. Memberikan kritik-kritik dan tekanan atas sikap DPR yang mengesahkan berbagai UU yang jahat dan konspiratif demi kedaulatan asing seraya menghancurkan kedaulatan bangsa sendiri. Tujuanya agar DPR berhenti sebagai badan legislatif yang mengesahkan UU rekayasa penjajah dengan mengatasnamakan rakyat.

(4) kepada negara-negara kapitalis, MNC/TNC, dan lembaga-lembaga internasional. Menyampaikan kutukan, protes keras, dan kritik. Tujuannya agar mereka menghentikan kejahatan mereka melakukan imperialisme yang kejam atas umat manusia melalui liberalisasi pendidikan tinggi.

Kedua, langkah ideologi (ash-shira'ul fikri) :

(1) terhadap neoliberalisme (kapitalisme). Memberikan kritik-kritik karena dari segi fakta ideologi ini sangat berbahaya dan dari segi normatif sangat bertolak belakang dengan Islam. Tujuannya agar manusia hilang kepercayaannya (trust, tsiqah) pada ideologi kafir yang sangat berbahaya ini.

(2) terhadap imperialisme. Menjelaskan kepada umat bahwa liberalisasi pendidikan adalah bagian dari imperialisme Barat. Imperialisme sendiri merupakan metode baku dalam penyebarluasan sekularisme. Tujuannya adalah untuk menghancurkan dan menghentikan imperialisme, dengan cara membongkar aksi imperiliasmenya dan menghancurkan sekularisme sebagai titik tolaknya. Sebab imperialisme tidak akan dapat dihancurkan tanpa menghancurkan sekulerisme, yang merupakan dasar ideologi (qa'idah fikriyah) bagi ideologi kapitalisme.

(3) terhadap ideologi Islam. Menjelaskan kepada umat bahwa ideologi yang benar adalah ideologi Islam, sebagai alternatif setelah umat tidak percaya lagi kepada ideologi kapitalisme. Tujuannya agar umat manusia percaya pada ideologi Islam dan mau memperjuangkan perwujudannya dalam realitas. Dan karena ideologi Islam tidak akan terwujud tanpa negara Khilafah, maka umat pun wajib dipahamkan akan urgensi keberadaan Khilafah demi terwujudnya ideologi Islam di muka bumi.

(4) terhadap sistem pendidikan Islam. Menjelaskan kepada umat bagaimana sistem pendidikan Islam dalam negara Khilafah. Termasuk juga perlu dijelaskan bagaimana pembiayaan pendidikan yang gratis dalam sistem Islam. Tujuannya agar umat memahami sistem pendidikan alternatif yang baik, sebagai pengganti sistem pendidikan sekarang yang sekuler dan bobrok, dan mahal. Dalam konteks kekinian, pembiayaan pendidikan yang gratis dari negara sesungguhnya amat dimungkinkan. Dapat dilakukan berbagai langkah untuk mencari sumber pembiayaannya, antara lain penghapusan/pengurangan utang luar negeri, mengoptimalkan potensi pendapatan sumber daya alam, serta penegakan hukum yang tegas (misalnya menghapuskan korupsi dan illegal loging).

[admin]


bacaki selengkapna!

Pembiayaan Pendidikan Dalam Islam

"Orang miskin dilarang sekolah," demikian jeritan pilu masyarakat saat ini menanggapi mahalnya biaya pendidikan, khususnya biaya pendidikan tinggi. Betapa tidak, pembiayaan sejumlah PTN yang berformat BHMN (Badan Hukum Milik Negara), tak lagi sepenuhnya ditanggung negara. Maka perguruan tinggi BHMN pun harus mencari biaya sendiri. Pembiayaan pendidikan lalu dibebankan kepada mahasiswa. Sebagai contoh, untuk masuk fakultas kedokteran sebuah PTN melalui "jalur khusus", ada mahasiswa yang harus membayar Rp 250 juta bahkan Rp 1 miliar (www.wikimu.com).

Mahalnya biaya pendidikan itu buah dari kebijakan pemerintah yang mengadopsi ideologi penjajah kafir khususnya AS, yakni neoliberalisme. Sebagai salah satu varian kapitalisme --seperti Keynesian yang mengutamakan intervensi pemerintah-- neoliberalisme justru sebaliknya. Neoliberalisme merupakan bentuk baru liberalisme klasik dengan tema-tema pasar bebas, peran negara yang terbatas, dan individualisme (Adams, 2004).

Sayang sekali. Pemerintah yang semestinya bertindak bagaikan penggembala, telah berubah fungsi menjadi serigala buas yang tega menghisap darah rakyatnya sendiri. Di tengah kesulitan hidup yang berat karena kemiskinan, pendidikan mahal akibat tunduk pada agenda neoliberalisme global, semakin melengkapi kegagalan pemerintah sekuler saat ini.

Pendidikan Tanggung Jawab Negara

Beda dengan neoliberalisme, dalam Islam pembiayaan pendidikan untuk seluruh tingkatan sepenuhnya merupakan tanggung jawab negara. Seluruh pembiayaan pendidikan, baik menyangkut gaji para guru/dosen, maupun menyangkut infrastruktur serta sarana dan prasarana pendidikan, sepenuhnya menjadi kewajiban negara. Ringkasnya, dalam Islam pendidikan disediakan secara gratis oleh negara (Usus Al-Ta'lim Al-Manhaji, hal. 12).

Mengapa demikian? Sebab negara berkewajiban menjamin tiga kebutuhan pokok masyarakat, yaitu pendidikan, kesehatan, dan keamanan. Berbeda dengan kebutuhan pokok individu, yaitu sandang, pangan, dan papan, di mana negara memberi jaminan tak langsung, dalam hal pendidikan, kesehatan, dan keamanan, jaminan negara bersifat langsung. Maksudnya, tiga kebutuhan ini diperoleh secara cuma-cuma sebagai hak rakyat atas negara (Abdurahman Al-Maliki, 1963).

Dalilnya adalah As-Sunnah dan Ijma' Sahabat. Nabi SAW bersabda :

"Imam adalah bagaikan penggembala dan dialah yang bertanggung jawab atas gembalaannya itu." (HR Muslim).

Setelah perang Badar, sebagian tawanan yang tidak sanggup menebus pembebasannya, diharuskan mengajari baca tulis kepada sepuluh anak-anak Madinah sebagai ganti tebusannya (Al-Mubarakfuri, 2005; Karim, 2001).

Ijma' Sahabat juga telah terwujud dalam hal wajibnya negara menjamin pembiayaan pendidikan. Khalifah Umar dan Utsman memberikan gaji kepada para guru, muadzin, dan imam sholat jamaah. Khalifah Umar memberikan gaji tersebut dari pendapatan negara (Baitul Mal) yang berasal dari jizyah, kharaj (pajak tanah), dan usyur (pungutan atas harta non muslim yang melintasi tapal batas negara) (Rahman, 1995; Azmi, 2002; Muhammad, 2002).

Sejarah Islam pun telah mencatat kebijakan para khalifah yang menyediakan pendidikan gratis bagi rakyatnya. Sejak abad IV H para khalifah membangun berbagai perguruan tinggi dan berusaha melengkapinya dengan berbagai sarana dan prasarananya seperti perpustakaan. Setiap perguruan tinggi itu dilengkapi dengan "iwan" (auditorium), asrama mahasiswa, juga perumahan dosen dan ulama. Selain itu, perguruan tinggi tersebut juga dilengkapi taman rekreasi, kamar mandi, dapur, dan ruang makan (Khalid, 1994).

Di antara perguruan tinggi terpenting adalah Madrasah Nizhamiyah dan Madrasah Al-Mustanshiriyah di Baghdad, Madrasah Al-Nuriyah di Damaskus, serta Madrasah An-Nashiriyah di Kairo. Madrasah Mustanshiriyah didirikan oleh Khalifah Al-Mustanshir abad VI H dengan fasilitas yang lengkap. Selain memiliki auditorium dan perpustakaan, lembaga ini juga dilengkapi pemandian dan rumah sakit yang dokternya siap di tempat (Khalid, 1994).

Pada era Khilafah Utsmaniyah, Sultan [Khalifah] Muhammad Al-Fatih (w. 1481 M) juga menyediakan pendidikan secara gratis. Di Konstantinopel (Istanbul) Sultan membangun delapan sekolah. Di sekolah-sekolah ini dibangun asrama siswa, lengkap dengan ruang tidur dan ruang makan. Sultan memberikan beasiswa bulanan untuk para siswa. Dibangun pula sebuah perpustakaan khusus yang dikelola oleh pustakawan yang cakap dan berilmu (Shalabi, 2004).

Namun perlu dicatat, meski pembiayaan pendidikan adalah tanggung jawab negara, Islam tidak melarang inisiatif rakyatnya khususnya mereka yang kaya untuk berperan serta dalam pendidikan. Melalui wakaf yang disyariatkan, sejarah mencatat banyak orang kaya yang membangun sekolah dan universitas. Hampir di setiap kota besar, seperti Damaskus, Baghdad, Kairo, Asfahan, dan lain-lain terdapat lembaga pendidikan dan perpustakaan yang berasal dari wakaf (Qahaf, 2005).

Di antara wakaf ini ada yang bersifat khusus, yakni untuk kegiatan tertentu atau orang tertentu. Seperti wakaf untuk ilmuwan hadits, wakaf khusus untuk dokter, wakaf khusus untuk riset obat-obatan, wakaf khusus guru anak-anak, wakaf khusus untuk pendalaman fikih dan ilmu-ilmu Al-Qur`an. Bahkan sejarah mencatat ada wakaf khusus untuk Syaikh Al-Azhar atau fasilitas kendaraannya. Selain itu, wakaf juga diberikan dalam bentuk asrama pelajar dan mahasiswa, alat-alat tulis, buku pegangan, termasuk beasiswa dan biaya pendidikan (Qahaf, 2005).

Walhasil, dengan Islam rakyat akan memperoleh pendidikan formal yang gratis dari negara. Sedangkan melalui inisiatif wakaf dari anggota masyarakat yang kaya, rakyat akan memperoleh pendidikan non formal yang juga gratis atau paling tidak murah bagi rakyat.

Pembiayaan Pendidikan Dalam Khilafah

Sistem pendidikan formal yang diselenggarakan negara Khilafah memperoleh sumber pembiayaan sepenuhnya dari negara (Baitul Mal). Dalam sejarah, pada masa Khalifah Umar bin Khaththab, sumber pembiayaan untuk kemaslahatan umum (termasuk pendidikan), berasal dari jizyah, kharaj, dan usyur (Muhammad, 2002).

Terdapat 2 (dua) sumber pendapatan Baitul Mal yang dapat digunakan membiayai pendidikan, yaitu : (1) pos fai` dan kharaj --yang merupakan kepemilikan negara-- seperti ghanimah, khumus (seperlima harta rampasan perang), jizyah, dan dharibah (pajak); (2) pos kepemilikan umum, seperti tambang minyak dan gas, hutan, laut, dan hima (milik umum yang penggunaannya telah dikhususkan). Sedangkan pendapatan dari pos zakat, tidak dapat digunakan untuk pembiayaan pendidikan, karena zakat mempunyai peruntukannya sendiri, yaitu delapan golongan mustahik zakat (QS 9 : 60). (Zallum, 1983; An-Nabhani, 1990).

Jika dua sumber pendapatan itu ternyata tidak mencukupi, dan dikhawatirkan akan timbul efek negatif (dharar) jika terjadi penundaan pembiayaannya, maka negara wajib mencukupinya dengan segera dengan cara berhutang (qardh). Hutang ini kemudian dilunasi oleh negara dengan dana dari dharibah (pajak) yang dipungut dari kaum muslimin (Al-Maliki,1963).

Biaya pendidikan dari Baitul Mal itu secara garis besar dibelanjakan untuk 2 (dua) kepentingan. Pertama, untuk membayar gaji segala pihak yang terkait dengan pelayanan pendidikan, seperti guru, dosen, karyawan, dan lain-lain. Kedua, untuk membiayai segala macam sarana dan prasana pendidikan, seperti bangunan sekolah, asrama, perpustakaan, buku-buku pegangan, dan sebagainya. (An-Nabhani, 1990).

Potensi Sumber Pembiayaan Pendidikan Saat ini

Telah dibahas sebelumnya ketentuan normatif mengenai sumber pembiayaan pendidikan gratis dalam Khilafah. Pertanyaannya adalah, mampukah kita menggratiskan pendidikan sekarang dengan potensi sumber-sumber pembiayaan saat ini?

Dalam APBN 2007, anggaran untuk sektor pendidikan adalah sebesar Rp 90,10 triliun atau 11,8 persen dari total nilai anggaran Rp 763,6 triliun. (www.tempointeraktif.com, 8 Januari 2007). Angka Rp 90,10 triliun itu belum termasuk pengeluaran untuk gaji guru yang menjadi bagian dari Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) untuk bidang pendidikan, serta anggaran kedinasan.

Misalkan kita ambil angka Rp 90,1 triliun sebagai patokan anggaran pendidikan tahun 2007 yang harus dipenuhi. Dengan melihat potensi kepemilikan umum (sumber daya alam) yang ada di Indonesia, dana sebesar Rp 90,1 triliun akan dapat dipenuhi, asalkan penguasa mau menjalankan Islam, bukan neoliberalisme. Berikut perhitungannya yang diolah dari berbagai sumber :

1. Potensi hasil hutan berupa kayu [data 2007] sebesar US$ 2.5 miliar (sekitar Rp 25 triliun).

2. Potensi hasil hutan berupa ekspor tumbuhan dan satwa liar [data 1999] sebesar US$ 1.5 miliar (sekitar Rp 15 triliun).

3. Potensi pendapatan emas di Papua (PT. Freeport) [data 2005] sebesar US$ 4,2 miliar (sekitar Rp 40 triliun)

4. Potensi pendapatan migas Blok Cepu per tahun sebesar US$ 700 juta – US$ 1,2 miliar (sekitar Rp 10 triliun)

Dari empat potensi di atas saja setidak-tidaknya sudah diperoleh total Rp 90 triliun. Kalau masih kurang, jalankan penegakan hukum dengan tegas, insya Allah akan diperoleh tambahan sekitar Rp 54 triliun. Sepanjang tahun 2006, ICW (Indonesia Corruption Watch) mencatat angka korupsi Indonesia sebesar Rp 14,4 triliun. Nilai kekayaan hutan Indonesia yang hilang akibat illegal logging tahun 2006 sebesar Rp 40 triliun.

Penutup

Jadi, mewujudkan pendidikan gratis di Indonesia sebenarnya sangatlah dimungkinkan. Yang menjadi masalah sebenarnya bukan tidak adanya potensi pembiayaan, melainkan ketidakbecusan pemerintah dalam mengelola negara. Pendidikan mahal bukan disebabkan tidak adanya sumber pembiayaan, melainkan disebabkan kesalahan pemerintah yang bobrok dan korup.

Pemerintah seperti ini jelas tidak ada gunanya. Karena yang dibutuhkan rakyat adalah pemerintah yang amanah, yang setia pada Islam dan umatnya. Bukan pemerintah yang tidak becus, yang hanya puas menjadi komprador asing dengan menjalankan neoliberalisme yang kafir.

[admin]


bacaki selengkapna!

MEDIA LIBERAL & KAPITALISME GLOBAL

Liberalisme sebagai spirit dasar kapitalisme ternyata tak hanya merasuk dalam bidang ekonomi dengan paket-paket privatisasinya. Tak hanya pula menyelundup liar ke ranah diskursus keagamaan dengan diabolisme intelektualnya, tapi juga telah mewabah dalam media massa khususnya TV dengan pornografi dan pornoaksinya.

Anda mungkin pernah melihat tayangan acara Fenomena di Trans TV pada Jumat tengah malam pukul 24.00 WIB 9 Juli 2005. Dalam program itu diekspos seputar bisnis esek-esek di Makassar; seperti seks becak lambat, tari erotik, dan karaoke plus. Beberapa waktu sebelumnya, dalam acara Good Morning, Senin, 13 Juni 2005, pukul 08.30 WIB, Trans TV telah melakukan kampanye legalisasi perkawinan sejenis. Seorang lesbian digambarkan sebagai pejuang atau bahkan pahlawan. Trans TV melakukan kampanye legalisasi perkawinan sesama jenis. Ketika itu ditampilkan sosok wanita lesbian bernama Agustin, yang mengaku sudah 13 tahun hidup bersama pasangannya yang juga seorang wanita. Praktik hubungan seksual dan perkawinan sesama jenis, katanya, adalah sesuatu yang baik. Seorang psikolog yang juga seorang wanita (tidak dijelaskan apakah dia lesbian atau tidak) juga menjelaskan bahwa homoseksual dan lesbian bukan praktik yang abnormal, tetapi merupakan orientasi dan praktik seksual yang normal. Na’uzhu billah min dzalik!

Program serupa itu juga ada di LATIVI beberapa waktu lalu, seperti Jakarta Underground, Cucak Rawa, dan Bunglon. Belum lagi tarian-tarian yang sangat vulgar seperti fenomena Inul Daratista dan Annisa Bahar yang sudah tergolong penari-penari pornoaksi yang amoral. Sayang, program-program murahan ini ternyata sangat digemari kalangan TV. Ada acara Digoda di Trans TV, Joged RCTI, Duet Maut di SCTV, dan Kawasan Dangdut di Lativi.

Dalam berbagai tayangan di stasiun TV, hampir pasti kita temukan figur-figur yang bergaya waria. Kehidupan kaum gay dan lesbian juga diekspose kepada publik. Film layar lebar Arisan, misalnya, yang menggambarkan kehidupan pasangan gay, beberapa kali diputar ulang di sejumlah stasiun TV swasta. Film ini seolah ingin mengkampanyekan bahwa perilaku laknat seperti itu adalah hal yang lumrah, sah-sah saja, dan tak perlu dipersoalkan.

Sering pula kita jumpai tayangan bejat lainnya seperti kehidupan komunitas para penjaja seks, baik wanita maupun laki-laki (gigolo), pelacuran anak-anak di bawah umur, fenomena ‘ayam kampus’, kehidupan tante-tante girang dan oom-oom senang, pesta seks (orgy), fenomena tukar pasangan (swinger), serta berbagai gejala penyimpangan seksual lainnya.

Apa makna dari semua fakta ini? Setidak-tidaknya fenomena media liberal itu menunjukkan 3 (tiga) hal yang mengkhawatirkan. Pertama, secara sosiologis telah terjadi proses rekayasa sosial (social engineering) yang disengaja untuk mentransformasikan masyarakat kita menuju masyarakat sekuler yang liberal. Kedua, secara ekonomi membuktikan kaum kapitalis (pemodal) telah menguasai media demi uang semata tanpa peduli moral masyarakat. Ketiga, secara politik menunjukkan pemerintah kita tidak punya tanggung jawab dalam urusan moral umat.

Menuju Masyarakat Sekuler-Liberal

Secara sosiologis, keberadaan media liberal membuktikan bahwa masyarakat kita sekarang sedang digiring oleh kekuatan kapitalisme global untuk bertransformasi menuju masyarakat sekuler yang liberal, sebagaimana masyarakat Barat. Dalam tinjauan teori sosiologi komunikasi massa, tayangan-tayangan TV yang liberal tersebut adalah suatu “diskusi publik” agar nilai kebebasan (freedom, liberty) mengisi ruang publik (public sphere), kemudian menjadi opini umum (public opinion), dan selanjutnya berproses menjadi shared values, yaitu acuan nilai kultural yang disepakati bersama (Ashadi Siregar, “Pengantar”, Politik Editorial Media Indonesia, Jakarta : LP3ES, 2003).

Ini tentu tak lepas dari pola pikir (mind-set) kaum liberal-sekular, bahwa kebebasan adalah nilai ideal yang harus diujudkan dalam suatu masyarakat. Dalam pidato pelantikannya sebagai presiden tanggal 20 Januari 2005 lalu, George W. Bush berkata, “When you stand for your liberty, we will stand for you.” (Jika Anda berjuang untuk kebebasan Anda, maka kami akan bersama Anda). Bush juga menegaskan, “The best hope for peace is the expansion of freedom.” (Harapan terbaik untuk perdamaian, adalah melakukan ekspansi kebebasan) (Newsweek, 31 Januari 2005). Perhatikan pilihan kata Bush, yaitu “ekspansi kebebasan” (expansion of freedom). Ini jelas mengindikasikan bahwa kebebasan adalah nilai asing yang dicekokkan secara paksa ke dalam tubuh masyarakat kita yang mayoritas muslim.

Tentu ekspansi kebebasan ini jangan diartikan harfiyah bahwa yang mengusung nilai-nilai kebebasan haruslah orang kulit putih seperti orang Amerika atau Eropa. Bisa jadi, dan ini memang sudah terjadi, yang mengusungnya justru orang kita sendiri yang berkulit sawo matang dan bahkan, beragama Islam. Namun pikiran mereka tentu telah terkotori oleh paham liberal gaya kapitalis.

Kaum Kapitalis Anti Moralitas

Secara ekonomi, eksistensi media liberal membuktikan kaum kapitalis pemilik media liberal itu adalah pihak yang sungguh tak bertanggung jawab. Karena mereka hanya memikirkan bagaimana mengeruk keuntungan pribadi dengan cara nista, yaitu membejatkan moral masyarakat. Ketika ditayangkan goyang Inul dalam sebuah progam di stasiun SCTV, misalnya, yang dipikirkan jelas hanya duit saja. Moral ditaruh di dengkul, atau mungkin di bawah telapak kaki (dan diinjak-injak). Sebab yang dipertimbangkan hanya pendapatan dari iklan yang dijual Rp 16 juta per spot iklan (30 detik). Padahal dalam satu acara Inul dengan durasi 90 menit, bisa terdapat sekitar 40 spot. Walhasil secara kasar akan diraup uang setidaknya Rp 640 juta hanya dalam waktu 90 menit.

Jadi bagi para pemilik modal, yang penting adalah duit, persetan dengan moral. Ini jelas menunjukkan mereka adalah kapitalis-kapitalis tulen yang tak mengenal tuhan selain uang, uang, dan uang. “Tiada tuhan selain uang” telah menjadi semboyan mereka secara diam-diam, walau pun mungkin mulut mereka sampai berbusa-busa melafazkan zikir dan tasbih siang malam.

Prinsip tersebut tentu tak lepas dari sistem ekonomi kita yang memang kapitalistik, yang memandang keuntungan pribadi adalah di atas segala-galanya. Adam Smith, dalam The Wealth of Nations (1776) pernah menulis bahwa jika tukang daging menjual dagingnya kepada Anda, itu bukan karena dia berbelas kasihan atau bersimpati kepada Anda, melainkan karena dia mengejar keuntungannya sendiri. Artinya, dalam sistem kapitalisme jangan bicara moral. Bicaralah uang karena hidup adalah uang.

Pemerintah Tak Bertanggung Jawab

Secara politik, fenomena media liberal tersebut menunjukkan bahwa pemerintah tidak punya tanggung jawab lagi dalam urusan moral rakyat. Pemerintah juga tidak punya kepedulian sama sekali terhadap media liberal yang mengancam moral masyarakat. Atau jangan-jangan, bukannya tidak peduli, tapi pemerintah memang tidak mampu lagi mengendalikan urusan media massa. Sebab pemerintah memang telah terbelit dan terjerat oleh gurita sistem kapitalisme global yang semakin mengarah kepada ekstremitas, yakni kondisi dimana kehendak dan aspirasi masyarakat telah dilumpuhkan sama sekali untuk selanjutnya dipaksa mengikuti apa pun kemauan dan selera kaum kapitalis.

Sistem ini yang di masa lalu kita sebut free-fight liberalism (liberalisme pertarungan bebas), kini oleh George Soros disebutnya market fundamentalism (fundamentalisme pasar). Dalam cengkeraman sistem ini, pemerintah kita hampir pasti tidak akan mampu berbuat apa-apa dan tidak berdaya, ketika menghadapi apa yang namanya “pasar” (baca : pemilik kapital/modal) (Bonnie Setiawan, Menggugat Globalisasi, Jakarta: INFID & IGJ, 2001).

Cengkeraman kaum kapitalis tentunya juga telah merambah media massa sampai pada batas yang memprihatinkan. Keprihatinan ini bisa dilihat dari makin maraknya buku atau artikel ilmiah tentang kerajaan-kerajaan media di dunia ini dan berbagai dampak yang ditimbulkannya. Beberapa buku disebut di sini :

(1) Media Monopoly karya Ben Bagdikian (1997);

(2) Rich Media Poor Democracy: Communication Politics in Dubious Times karya Robert W McChesney (1999);

(3) The Global Media: the New Missionaries of Corporate Capitalism karya Edward S Herman dan Robert W McChesney (1997);

(4) Media Ownership and Control in the Age of Convergence karya Vicki MacLeod (1996);

(5) Media Moguls karya Jeremy Tunstall dan Michael Palmer (1991);

(6) Leaving Readers Behind: The Age of Corporate Newspapering Media Ownership karya Gene Roberts (2001);

(7) The Economics and Politics of Convergence and Concentration in the UK and European Media karya Gillian Doyle (2002);

(8) Media Ownership and Its Impact on Media Independence and Pluralism karya Brankica Petkovic (2004);

(9) A Mapping Study of Media Concentration and Ownership in Ten European Countries karya David Ward (2004) (Ignatius Haryanto, “Kepemilikan Media Terpusat dan Ancaman terhadap Demokrasi”, www.kompas.com, 24 Agustus 2004)

Di antara pesan utama buku-buku itu adalah kekhawatiran bahwa media massa telah dimiliki oleh semakin sedikit orang dari waktu ke waktu. Bagdikian misalnya, melihat grup pemilik media di AS makin sedikit. Dalam survei pertamanya di tahun 1980-an, ia mencatat masih ada sekitar 20 grup media di seluruh AS. Selang beberapa tahun kemudian, ia kembali menghitung jumlah grup media yang ada di sana. Hasilnya mengejutkan karena jumlahnya tinggal belasan. Awal tahun 1990-an ia kembali melakukan survei. Jumlahnya makin sedikit. Hingga tahun 1997, tahun terakhir surveinya, tinggal lima grup media yang memiliki lebih dari 60 persen media di AS (Ignatius Haryanto, ibid).

Di Inggris, surat kabar terkemuka The Times dan media lain seperti The Daily Telegraph, The Economist dan masih banyak lagi, dimiliki ‘raja media’ Yahudi dari Australia, Rupert Murdoch. Demikian pula harian Sunday Times, majalah porno Sun dan News of the World juga milik Murdoch. Di AS, Murdoch memiliki koran New York Post, New York Times serta majalah Star dan The News Week. Tidak hanya itu, orang-orang Yahudi juga menguasai kantor-kantor berita raksasa seperti Reuter yang didirikan Julius Paul Reuter, orang Yahudi kelahiran Jerman yang kemudian pindah ke London. Ia juga memiliki Associated Press (AP) dan United Press International (UPI) yang berpusat di AS (Yudha Topan, “Mengubah Tradisi dari Membaca ke Menulis”; www.media-indonesia.com, 21 Juni 2004).

Monopoli media massa pada segelintir kaum kapitalis di Barat itu tentu punya dampak terhadap media Indonesia. Mengapa? Sebab 90% arus informasi dunia saat ini dikuasai Barat (Demonologi Islam, Asep Syaiful Romli, 2000). Jika demikian, Indonesia yang cuma menjadi pemain pinggrian dalam kapitalisme global pun hanya bisa mengekor saja terhadap apa pun tawaran isi media massa Barat, yang tentu membawa serta nilai-nilai kebebasan yang berlawanan dengan Islam.

Lalu, bagaimana dengan industri televisi di Indonesia sendiri, yang benyak menyuguhkan tayangan liberal? Hampir sama polanya dengan di Barat. Industri televisi di Indonesia pun hanya dimiliki oleh segelintir pemodal (kaum kapitalis), yang jelas pro dengan nilai kebebasan. Perusahaan Bhakti Investama menjadi pemilik modal di sejumlah stasiun televisi, seperti RCTI, Global TV, Metro TV, dan TPI. (Agus Sudibyo, Ekonomi Politik Penyiaran di Indonesia, Yogyakarta : LKiS, 2003).

Di hadapan kaum kapitalis dengan jaringan globalnya inilah, pemerintah kita yang tak bertanggung jawab tidak berdaya mempertahankan moral masyarakatnya. Pemerintah telah menyerah pasrah di hadapan kehendak kaum kapitalis dan membiarkan rakyatnya terperosok ke jurang kebejatan moral yang luar biasa. Inilah kondisi ekstrem yang disebut oleh George Soros sebagai market fundamentalism (fundamentalisme pasar).

Pada titik ekstrem itulah, kita jadi paham mengapa urusan moral akhirnya dikembalikan menjadi urusan pribadi, bukan lagi urusan pemerintah. Karena pemerintah memang tidak mau atau tidak mampu lagi mengaturnya. Jika dalam urusan LPG Menko Ekuin Aburizal Bakrie mengatakan, “Kalau tak bisa LPG ya jangan beli LPG” maka dalam urusan media liberal mungkin yang akan dikatakan, “Kalau tak suka acaranya, matikan saja TV yang Anda tonton.”

Jadi, sistem dan pranata formal yang semestinya ditegakkan pemerintah, ternyata telah lumpuh di hadapan rezim uang (baca: sistem kapitalisme). Padahal kalau kita merujuk ke pranata normatif yang berlaku, media liberal seharusnya dilarang. Karena media semacam itu sungguh tidak sesuai dengan UU Pers Nomor 40/1999 Pasal 3 bahwa pers nasional berfungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial. Pertanyaannya, pendidikan dan kontrol sosial macam apa yang ada dalam tayangan-tayangan bejat di media liberal saat ini?

Media liberal juga secara jelas berbenturan dengan pasal 36 Ayat 1 UU Penyiaran Nomor 32/2002 yang menyatakan isi siaran mengandung informasi, pendidikan, hiburan, dan manfaat untuk pembentukan intelektual, watak, moral, kemajuan, kekuatan bangsa, menjaga persatuan dan kesatuan, serta mengamalkan nilai-nilai agama dan budaya Indonesia. Pertanyaannya, watak dan moral seperti apakah yang akan dapat dibentuk dengan tayangan-tayangan amoral di media liberal saat ini?

Tapi sayang, pemerintah memang tak bertanggung jawab dan membuta tuli seakan-akan semua aturan itu tidak pernah ada. Segala sistem, aturan, prosedur jadi hancur berantakan ketika berhadapan dengan kekuatan “pasar”. Moralitas lalu dikembalikan menjadi urusan individu, bukan lagi urusan pemerintah.

Logika individualis ini sayangnya juga telah merasuk ke dalam sukma para seniman, artis, dan selebritis yang banyak berperan dalam industri hiburan di TV. Ketika muncul pro kontra pose bikini Artika Sari Devi —wakil Indonesia dalam Miss Universe— seniman Sujowo Tejo dengan santai mengomentari, “…Yang bikin porno itu pikiran kita.” Jadi, menurut logika Sujiwo Tejo, yang salah itu individunya (otaknya). Konsekuensinya, Artika tidak salah, media juga tak salah, pemerintah juga tak berdosa. Tentu saja, itu logika gila. Sebab kalau yang salah otaknya, tentu akan dibolehkan orang telanjang berlenggang kangkung di jalan, pasar, panggung hiburan, atau mungkin di film dan layar TV asalkan otak kita tetap sopan dan tidak ngeres. Astaghfirullah. Apakah budaya liar ala binatang seperti itu yang memang diinginkan?

Memang benar, sekarang sedang digodok RUU Pornografi dan Pornoaksi. Umat Islam tentu boleh berharap agar RUU itu menjadi UU yang akan meminimalkan tayangan media liberal. Tapi, apakah RUU itu akan disahkan DPR, itu persoalan lain yang masih menjadi tanda tanya besar. Nasib RUU itu ke depan sangat mengkhawatirkan. Mengapa? Karena kelompok Islam liberal dan berbagai LSM yang berhaluan sekuler telah menentang RUU itu secara beramai-ramai.

Jaringan Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Pro Perempuan, yang beranggotakan 35 organisasi perempuan —termasuk Komnas Perempuan, Kowani, Puan Amal Hayati, Muslimat NU, Cetro, Aliansi Pelangi Antarbangsa, Kalyanamitra, Pusat Krisis Terpadu RS Cipto Mangunkusumo, LBH Jakarta, dan LBH APIK Jakarta— menilai RUU tersebut justru berpotensi melahirkan kekerasan baru, menempatkan korban menjadi pelaku, terutama pada korban perempuan dan anak, melanggar kebebasan berekspresi, dan membakukan standar kesusilaan berdasarkan pemahaman satu kelompok saja (Kompas, 2/7/2005).

Ratna Batara Munti (seorang anggota jaringan tersebut) menyebut isi pasal-pasal mengenai pornoaksi berpotensi mengkriminalkan semua perempuan. Pasal mengenai “dilarang memperlihatkan payudara di muka umum”, katanya, tidak dijelaskan payudara siapa. Ratna bertanya sinis, “Bagaimana dengan ibu-ibu yang menyusui bayinya di muka umum? Bagaimana dengan kebiasaan masyarakat mandi dan buang air di kali?” Demikian pertanyaan rewel aktivis itu (Kompas, 2/7/2005).

Sayangnya, kelompok Islam liberal juga rewel menyoal RUU tersebut dengan pertanyaan-pertanyaan yang mementahkan dan bahkan menggugat RUU yang justru amat diperlukan umat Islam itu. Abdul Moqsith Ghazali (aktivis Jaringan Islam Liberal) mengugat pasal “dilarang mempertontonkan alat kelamin di muka umum” dengan bertanya, “Lalu bagaimana dengan orang yang mandi di sungai?” (Kompas, 2/7/2005).

Maka nampaknya perjalanan RUU dan Pornografi dan Pornoaksi itu masih panjang. Sebab hambatannya cukup besar, terutama dari kaum liberal-sekular yang, sadar atau tidak, telah menjadi agen-agen kapitalisme global, khususnya Amerika Serikat yang memang getol mendesakkan nilai-nilai kebebasan atas Dunia Islam.

Namun, bagaimana pun juga umat Islam tentu akan semakin dewasa dan sadar. Mereka lambat laun akan dapat mengerti mengapa media massa di sebuah negeri muslim, bukannya difungsikan untuk kemaslahatan umat, melainkan malah disalahgunakan untuk membejatkan moral demi uang. InsyaAllah umat akan sadar bahwa media liberal kita memang telah didikte oleh selera-selera sampah yang sengaja dijajakan oleh para pelaku, pengikut, dan agen kapitalisme global.


[admin]


bacaki selengkapna!